JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Baru-baru ini Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi menyoroti dana gelondongan yang dikeluarkan APBN untuk pembiayaan Pilkada serentak. Menurut Uchok, dana itu rawan dikorupsi, karena langsung dikucurkan dengan sistem gelondongan.
Menurutnya, dana yang digulirkan dengan cara gelondongan itu hanya menguntungkan kepentingan politik anggota dewan. Dana seperti itu justru akan digunakan untuk celengan dewan agar nanti terpilih lagi.
Lalu, apa itu sebenarnya dana gentong babi, dan bagaimana asal-muasal istilah ini?
Dalam penelusuran TeropongSenayan, kata “gentong babi” seperti dikemukakan Maxey (1919) berasal dari praktik memberikan daging babi asin kepada para budak kulit hitam pada masa Perang Saudara (1861-1865).
Pada masa itu, para tuan pemilik budak memberikan daging babi yang telah diasinkan kepada para budak kulit hitam untuk diperebutkan. Perilaku para legislator yang mencari subsidi pemerintah untuk kepentingan politik pribadi bisa disamakan dengan perilaku para budak yang memperebutkan daging tersebut.
Politik gentong babi kali biasanya dilakukan oleh calon incumbent yang telah memiliki kekuasaan.
Dari asal muasalnya, politik gentong babi kali pertama terjadi di Amerika Serikat dengan istilah Bill Bonus. Wakil Presiden Amerika Serikat John C. Calhoun era 1817 mengusulkan Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika.
Dananya diambil dari laba bonus Second Bank of the United States (Bank Kedua Amerika Serikat). RUU tersebut akhirnya diveto oleh Presiden James Madison.
Teddy Lesmana dalam bukunya "Politik Pork Barrel dan Kemiskinan" menuturkan praktik “gentong babi”. Tulisannya itu terkait perilaku politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya dan tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya. Disebutkan bahwa banyak kebijakan atau program yang dimanfaatkan sebagai sumber gentong babi. Misalnya adalah dana bantuan sosial, dana aspirasi, dana dari kebijakan pemerintah, dan lainnya.
Lalu, apakah praktik ini masih banyak terjadi saat ini?