Lima sila yang secara prinsipil lahir dari perenungan mendalam Bung Karno sepanjang malam menjelang tanggal 1 Juni 1945 ini ternyata berayun dan berfluktuasi sesuai zeitgeist (jiwa zaman) yang menghiasi perjalanan sejarah Indonesia. Seokarno pernah mematikan demokrasi dengan dekrit presiden beberapa tahun setelah pengunduran diri Bung Hatta sebagai wakil presiden.
Beralih ke era Orde Baru, Soeharto juga berhasil meminimalisasi nilai-nilai demokrasi yang terkandung di dalam Pancasila dan menjadikannya hanya sebagai alat untuk melestarikan kekuasaan selama kurang lebih 30 tahun berkuasa. Era reformasipun ternyata tak lebih baik dari era-era sebelumnya, demokrasi mengayun sesuai spirit reformasi yang gaduh dengan euphoria kebebasan politik dan euphoria liberalisasi ekonomi.
Negara kian hari kian melepaskan tanggung jawab terhadap rakyatnya, politik kian gaduh dan mahal, semua pihak merasa memiliki hak istimewa untuk bersuara dan mengecam (mirip dengan istilah vetocracy versi Francis Fukuyama), aglomerasi modal semakin mengerucut ditangan segelintir konglomerasi, ketimpangan kian melebar, pemilik modal menginvasi dunia politik dan menjungkirbalikan moralitas demokrasi Pancasila kemudian menggantinya dengan model relasi patrimonialistik yang mengerangkeng suara rakyat di dalam kotak suara paska pemilihan sampai pemilihan selanjutnya.
Jadi last but not least, selain tanggal 1 Juni, hampir pasti tidak ada lagi tanggal-tanggal lain dimana Pancasila dibicarakan, apalagi dijadikan landasan moral politik dalam menelurkan suatu tindakan atau sebuah kebijakan.
Pertanyaanya, siapa yang membungkam spirit Pancasila dan menyembunyikan moralitas yang terkandung di dalamnya? Dan ternyata sampai tanggal 1 Juni 2015 yang lalu, tidak ada satupun petinggi di negeri ini yang melemparkan pertanyaan segamblang ini, kecuali bahasa-bahasa atributif layaknya sebuah peringatan biasa. Sehingga berkemungkinan besar jawabanyapun tidak akan pernah ada yang membutuhkannya.
Mengapa? Karena, seperti yang diingatkan kembali oleh Michael Sandel, Professor Filsafat Politik kenamaan dari Harvard University, dalam karya mutakhirnya “What Money Can’t Buy? A Moral Limit of Market”, ketika demokrasi mengalami “marketisation” (marketisasi), maka segala sesuatu akan berlangsung dalam skema dan model relasi “sell and buy”, relasi jual dan beli alias relasi transaksional.
Artinya, jika keputusan untuk mengomersialisasikan demokrasi (pancasila) jauh lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu, terutama policy maker, atau mempermudah para pemilik modal untuk mengakumulasi modalnya, maka tindakan mempertahankan moralitas Pancasila akan dianggap sebagai tindakan konyol yang merugikan.
Mari kita bayangkan beberapa dekade mendatang akan seperti apa anak cucu kita menginternalisasi nilai-nilai demokrasi Pancasila? Apakah ideologis- Idealistik dan fundamental-paradigmatik atau malah pragmatis - oportunis alias memaknai demokrasi Pancasila hanya dalam kacamata untung dan rugi. Semoga saja tidak demikian.(selesai)
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #pancasila #roni p sasmita #liberal