JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar mengatakan, masyarakat hingga negara perlu mendukung penuh korban kekerasan seksual saat bercerita dan melapor.
Menurut Livia, dukungan sekitar ini penting bagi pemulihan kondisi korban yang merasa terpuruk.
“Support system itu menjadi sangat penting. Kalau penyintas hidup di lingkungan yang tidak mendukung atau lingkungan yang menyalahkan korban, tentu proses pemulihannya menjadi lebih panjang,” kata Livia pada Jumat (3/9/2021).
Livia menyebut, korban perlu keberanian lebih untuk menceritakan kasus yang ia alami. Sebab itu, masyarakat sebaiknya mendengarkan tanpa menghakimi korban yang memiliki respons psikologis dengan tingkat kerumitan berbeda-beda.
Baca Juga: Prihatin Pada Korban Dugaan Pelecehan Seksual Pegawai KPI, LPSK Siap Beri Perlindungan
“Pada saat dia membutuhkan orang untuk menjadi tempat bercerita, kita bisa menemaninya. Atau menemaninya saat perlu bantuan ke psikolog. Menemaninya selama perjalanan pemulihan. Jangan menjadi hakim,” jelas Livia.
Ia mengatakan, teman dan keluarga korban juga semestinya tak membandingkan-bandingkan korban. Menurut Livia, kata-kata yang terkesan sepele itu dapat menyakiti korban.
Livia menilai, hal serupa pun mesti dipahami para penegak hukum. Para penegak hukum cukup menerima laporan kekerasan seksual dari korban, tanpa menghakimi.
“Menurut saya, yang menerima laporan itu kan tidak dalam posisi untuk menjadi hakim, ya, seharusnya bisa menerima,” ujar Livia.
“Tidak mudah menjadi penyintas yang berani melapor, belum lagi kalau speak up di media sosial ada ancaman UU ITE,” imbuhnya.
Livia membeberkan proses pemulihan setiap penyintas berbeda-beda. Akan tetapi, ia berpandangan ada dua faktor yang dapat berpengaruh secara umum, yakni faktor risiko dan faktor pelindung.
Risiko yang lebih tinggi cenderung membuat seorang korban kekerasan seksual sulit untuk bangkit menjadi penyintas berdaya.
Sementara, seorang korban, yang memiliki perlindungan lebih banyak dan kuat, akan lebih mudah membuatnya bangkit.
Di sisi lain, korban kekerasan seksual juga perlu bergulat dengan diri sendiri untuk bangkit.
“Pemulihan pada dasarnya dimulai dari diri sendiri. Apakah dia bisa menerima dan menjadi dirinya sendiri, apakah bisa mengatasi rasa marah dan benci yang bergulat di dalam dirinya, dan apakah bersedia konseling dengan psikolog,” ujar Livia.
Baca Juga: Kenapa Pelaku Yang Diduga Lakukan Pelecehan Seksual Terhadap Pegawai KPI Masih Aktif Bekerja?
“Di beberapa tempat juga biasanya disediakan support group atau kelompok penyintas yang bisa saling menguatkan dengan apa yang mereka alami dan apa yang membuat mereka bangkit,” imbuhnya.
Untuk mendukung korban kekerasan seksual, Livia menyebut perlu ada peran negara. Hal ini karena ia menilai kasus kekerasan seksual adalah permasalahan yang kompleks.
Negara, kata Livia, perlu melakukan perbaikan sistem hukum dan sistem pemulihan agar penyintas berani untuk melaporkan kasusnya serta mendapatkan keadilan.
"Negara perlu hadir dalam perlindungan dan pemulihan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah digagas memang lebih komprehensif, jadi tidak hanya ditekankan pada hukuman untuk pelaku tetapi juga tentang bagaimana proses pemulihan bagi penyintas,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa proses menata dan membangun kembali hidup penyintas merupakan bagian dari hak pemulihan yang harus didapatkan.
“Oleh sebab itu, LPSK juga turut hadir untuk memberi perlindungan supaya seorang saksi korban dapat memberi pernyataan secara aman dan nyaman selama proses pidana,” pungkas Livia.