Oleh Cak AT (Ahmadie Thaha) pada hari Senin, 06 Jan 2025 - 15:06:24 WIB
Bagikan Berita ini :

Angsa Hitam di Pemilu 2029

tscom_news_photo_1736150784.jpg
(Sumber foto : )

Tahun 2025 baru saja bergulir ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan kado yang memantik histeria politik: penghapusan ambang batas 20 persen untuk pencalonan presiden dan wakil presiden. Putusan ini disambut dengan bangga sebagai langkah hukum yang berani. Applause diberikan kepada empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang mengajukan judicial review.

Tanpa dukungan pengacara, keempat pemuda yang duduk di semester 7 itu menembus labirin hukum gugatan ke-33 untuk perkara yang sama, hingga lahir putusan MK yang menjadi semacam “golden ticket” bagi partai mana pun untuk mengajukan capres-cawapres. Kini, setiap partai yang lolos sebagai peserta Pemilu 2029 diwajibkan mencalonkan pasangan, baik secara mandiri maupun berkoalisi.

Hasilnya? Potensi tsunami kandidat presiden yang bisa membuat pemilih kebingungan. Namun, jangan salah sangka. Jika nantinya ada 30 pasangan capres, yang mungkin justru kebingungan adalah para kandidat itu sendiri. Mereka harus mempersiapkan dana, tim, stamina, serta ide-ide yang ditawarkan.

Dalam survei kecil yang dilakukan Dahlan Iskan, muncul prediksi tentang jumlah pasangan capres. Responden memberikan jawaban yang beragam, mulai dari tiga atau empat pasangan hingga tujuh atau lebih. Bahkan, ada yang membayangkan hingga 12 nama potensial untuk Pilpres 2029.

Nama-nama seperti Anies Baswedan, Gibran Rakabuming Raka, Agus Harimurti Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, hingga Khofifah Indar Parawansa diprediksi akan muncul. Tak ketinggalan “kaki lama” seperti Prabowo Subianto dan Puan Maharani, yang masih bertahan seperti tamu pesta yang enggan pulang.

Jika peraturan ini benar-benar diterapkan setelah dibahas dan disepakati DPR, siapa pun dengan cukup keberanian —atau kegilaan—dapat maju dalam Pilpres. Bersiaplah melihat calon-calon outlier yang tak terduga: figur kondang, mantan YouTuber, seleb TikTok, atau aktivis lapangan.

Banyak yang menyebut fenomena ini sebagai kebebasan demokrasi. Namun, kebebasan tanpa tanggung jawab dapat berubah menjadi bahan tertawaan global. Sebagaimana diingatkan Kwik Kian Gie, kita mungkin akan melihat lebih banyak “badut politik” daripada negarawan sejati.

Fenomena ini mengingatkan kita pada Black Swan Election di Amerika Serikat, di mana Donald Trump, dengan segala kontroversinya, berhasil kembali menjadi presiden. Bayangkan, dia dibayangi dakwaan kriminal, etika, dan omongan kasar, sementara lawan menurut survei tak bakal terkalahkan.

Pemilu Black Swan merujuk pada hasil yang melampaui ekspektasi publik —kombinasi antara ketidakpastian, narasi kuat, dan momentum yang mengguncang status quo. Ketika lawan kebingungan fokus karena terlalu banyak yang hendak dikampanyekan, Trump memilih fokus pada janji membuat Amerika great atau hebat kembali.

Pemilu seperti ini menggambarkan bagaimana strategi sederhana yang dimainkan dengan cerdas oleh tim Trump bisa menggulingkan strategi kompleks penuh intrik yang dimiliki lawan. Indonesia memang tidak memiliki sistem Electoral College, tapi pelajaran dari Amerika jelas: kejutan adalah bagian dari permainan politik.

Di Indonesia, peluang ini makin besar dengan penghapusan ambang batas pencalonan. Figur-figur non-mainstream punya kesempatan nyata untuk maju, terutama jika mereka mampu memanfaatkan media sosial dan memahami keresahan rakyat. Tetapi, jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa berubah menjadi panggung kekacauan politik.

Bayangkan Pilpres 2029, ketika semua partai diwajibkan mencalonkan pasangan, mungkin akan muncul nama-nama yang bukan karena kualitas, tetapi semata karena mereka memenuhi syarat administratif dan elektabilitas yang dilambungkan. Ini seperti pesta dengan undangan terbuka tanpa pemeriksaan daftar tamu.

Namun, apakah ini buruk? Tidak selalu. Dalam kondisi optimal, ini bisa membuka peluang bagi tokoh-tokoh baru yang selama ini terpinggirkan oleh oligarki politik. Mereka dapat menciptakan momentum Black Swan jika mampu memanfaatkan situasi dengan sempurna. Tapi dalam kondisi buruk, ini bisa berubah menjadi sirkus politik yang merusak kepercayaan rakyat pada sistem.

Keputusan MK ini seperti dua sisi mata uang: peluang besar bagi demokrasi atau risiko besar menuju absurditas politik. Yang pasti, Pemilu 2029 akan menjadi babak baru dalam sejarah politik Indonesia, sebuah eksperimen yang bisa menjadi inspirasi atau lelucon internasional.

Seperti kata Dahlan Iskan, “makes everybody can fly to the moon.” Biarkan setiap orang terbang ke bulan. Tapi pertanyaannya, apakah mereka tahu cara kembali ke bumi?

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma"had Tadabbur al-Qur"an, 6/1/2025

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

DEKLARASI PERLAWANAN: REBUT KEDAULATAN DARI OLIGARKI "STOP PSN PIK-2 & TANGKAP DAN ADILI JOKOWI-AGUAN-SALIM"

Oleh Gerakan Rakyat Anti Oligarki (GRAO)
pada hari Rabu, 08 Jan 2025
Kampung Kramat, Tangerang, Banten, 8 Januari 2025 Gerakan Rakyat Anti Oligarki (GRAO) pada hari ini, Rabu, 8 Januari 2025, menggelar Aksi Deklarasi Perlawanan Rakyat di Kampung Kramat, Pakuhaji, ...
Opini

Indikasi Korupsi di Sektor Infrastruktur Pertanian Era Jokowi

Sektor pertanian merupakan salah satu pilar penting bagi perekonomian Indonesia. Dalam dua periode kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo mencanangkan berbagai program pembangunan infrastruktur ...