Oleh Prof. Didin S. Damanhuri pada hari Kamis, 02 Jan 2025 - 14:46:33 WIB
Bagikan Berita ini :

HAM Sosial: Sebuah Tanggung Jawab yang Terabaikan

tscom_news_photo_1735803993.jpg
(Sumber foto : )

Di era Reformasi dan demokrasi ini, pembicaraan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) kerap terfokus pada individual rights—hak-hak pribadi yang melekat pada setiap individu. Namun, ada dimensi lain dari HAM yang sering terlupakan, yakni social rights. Dalam konteks Indonesia, perjuangan untuk memaknai HAM sebagai bagian dari keadilan sosial semakin mendesak, terutama ketika jutaan rakyat hidup dalam kemiskinan ekstrem.

Gambaran nyata ketimpangan ini dapat ditemukan dalam program televisi yang mengulas kehidupan warga miskin. Ada keluarga yang hanya makan sekali sehari dengan lauk garam, bahkan terkadang baru bisa makan setelah dua hari. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pencari batu di sungai, pemburu belut di sawah, atau pekerjaan serabutan lainnya yang tidak memberikan pendapatan layak. Kondisi ini diperparah dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang mulai berlaku 1 Januari 2025. Kebijakan ini tentu akan meningkatkan beban hidup mereka yang sudah sulit.

Sementara itu, di sisi lain, kaum super kaya menikmati berbagai fasilitas dan kemudahan. Program tax amnesty jilid ketiga yang direncanakan pemerintah akan memberikan keringanan bagi mereka untuk melaporkan kekayaan tanpa beban pajak besar. Selain itu, proyek-proyek strategis nasional (PSN) seperti PIK2, BSD, dan Rempang sering kali melibatkan penggusuran rakyat kecil dengan ganti rugi yang tidak sepadan, berkisar antara Rp10.000 hingga Rp35.000 per meter persegi. Ironisnya, tanah-tanah ini kemudian dijual dengan harga hingga Rp3 juta per meter persegi oleh para pengembang besar.

Ketimpangan ini juga terlihat dalam sektor perbankan. Menurut data, turnover perbankan mencapai Rp13.000 triliun, namun alokasi kreditnya sangat tidak merata. Sebanyak 82% kredit perbankan diberikan kepada kalangan konglomerat, sementara UMKM—yang mewakili 99,98% dari jumlah dunia usaha—hanya mendapatkan 18%. Kondisi serupa juga terjadi di sektor pertambangan dan perkebunan sawit, di mana konsesi lahan didominasi oleh konglomerat, dengan pembagian hasil yang lebih menguntungkan mereka dibandingkan negara.

Ketimpangan ini diperparah oleh pengaruh konglomerat dalam politik. Sebagai investor politik, mereka berkontribusi besar dalam pendanaan kampanye. Setelah para elit politik terpilih, kebijakan APBN dan APBD sering kali diarahkan untuk menguntungkan kelompok konglomerat sebagai bentuk balas budi.

Data dari OXFAM mengungkap betapa buruknya ketimpangan ini. Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta penduduk. Satu persen orang terkaya menguasai 50% kekayaan nasional, sementara 10% orang terkaya menikmati 75,3% PDB.

Melihat realitas ini, perjuangan HAM tidak boleh hanya terbatas pada hak individu, tetapi juga harus mencakup keadilan sosial. Ketidakadilan struktural yang terus berlangsung adalah dosa sosial yang besar. Jika kita tidak membela HAM sosial rakyat kecil, maka kita berkontribusi pada pelanggengan ketimpangan dan penderitaan mereka.

Selamat Tahun Baru 2025.
Mari kita jadikan tahun ini momentum untuk memperjuangkan keadilan sosial dan kemanusiaan yanglebihbaik.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Mengurai Penetapan Joko Widodo sebagai Finalis Pemimpin Terkorup oleh OCCRP: Perspektif Kritis

Oleh M. Said Didu
pada hari Jumat, 03 Jan 2025
Penetapan mantan Presiden Indonesia, Joko Widodo, sebagai salah satu finalis pemimpin terkorup di dunia oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) menimbulkan polemik dan ...
Opini

Otak di Balik Threshold 20%

Aroma demokrasi tiba-tiba terasa seperti wangi kopi instan —praktis tapi penuh kejutan. Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah sejarah dengan mengabulkan gugatan penghapusan Pasal 222 Undang-Undang ...