Opini
Oleh Rusdianto Samawa pada hari Senin, 27 Jan 2025 - 13:09:35 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengurai Kebijakan Kontradiktif yang Merugikan Rakyat: Catatan Penting untuk Presiden Prabowo Subianto

tscom_news_photo_1737958175.jpeg
(Sumber foto : )


Sejak lama, kebijakan-kebijakan pemerintah kerap menjadi sorotan publik. Tidak sedikit kebijakan yang dinilai kontradiktif dan lebih menguntungkan oligarki ketimbang rakyat kecil. Dalam kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, ada beberapa catatan penting yang perlu mendapat perhatian agar tidak terulang kembali kesalahan serupa di era sebelumnya. Berikut adalah beberapa poin krusial terkait kebijakan strategis yang harus ditinjau ulang demi keadilan bagi masyarakat.

1. Proyek Strategis Nasional (PSN)

Proyek Strategis Nasional seharusnya menjadi simbol keberpihakan negara terhadap rakyat. Namun, dalam praktiknya, banyak PSN justru dikelola oleh swasta. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Bukankah “Nasional” berarti dikelola negara untuk kepentingan rakyat?

Keterlibatan swasta dalam PSN seringkali menimbulkan dualisme keberpihakan. Ketika pemerintah terkesan membela kepentingan swasta, rakyat seperti masyarakat pesisir dan nelayan menjadi korban. Alih-alih melindungi mereka, pemerintah justru terlihat membiarkan rakyat berhadapan langsung dengan konglomerat besar seperti Aguan Cs dan Antoni Zalim Cs.

Kebijakan seperti ini hanya menunjukkan keberpihakan yang ambigu. Jika PSN dikelola swasta, bukankah lebih baik pemerintah membatalkannya? Keberpihakan pemerintah seharusnya jelas: berada di sisi rakyat, bukan oligarki.

2. Pemagaran Laut: Proyek yang Membingungkan

Isu pagar laut sepanjang 30,16 km untuk budidaya kerang hijau menjadi salah satu contoh kebijakan yang tidak realistis. Apakah mungkin nelayan swadaya memagari laut? Lebih parah lagi, sertifikat atas wilayah tersebut berada di bawah nama perusahaan swasta seperti Aguan Cs. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan hanya dijadikan tameng untuk kepentingan kelompok tertentu.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, sempat menyebut reklamasi yang dilakukan sebagai "alami." Pernyataan ini justru menimbulkan kesan pembelaan terhadap konglomerat yang melakukan perampasan ruang hidup nelayan. Belum lagi, alih-alih memproses pelaku utama, pemerintah terlihat lebih mudah menjadikan nelayan sebagai kambing hitam.

3. Ekspor Benih Lobster: Kebijakan yang Tidak Konsisten

Kebijakan ekspor benih lobster menjadi kontroversi yang belum selesai. Meski disebutkan bahwa ekspor ini untuk keperluan budidaya di luar negeri, fasilitas budidaya tersebut justru tidak ada. Di dalam negeri, budidaya lobster juga menghadapi banyak kendala, seperti kondisi ombak di Jembrana, Bali, yang tidak memungkinkan.

Regulasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) tidak pernah secara eksplisit menyebutkan kata “ekspor,” melainkan hanya “pengeluaran benih.” Kebijakan seperti ini memperlihatkan adanya permainan definisi untuk mengelabui masyarakat. Sistem penarikan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) juga tidak jelas, sehingga menimbulkan potensi kerugian bagi negara.

4. Penyelundupan Benih Zidat

Kasus penyelundupan benih Zidat oleh pengusaha-pengusaha Vietnam sudah berlangsung sejak tahun 2001. Hingga saat ini, belum ada langkah konkret dari penegak hukum untuk mengidentifikasi dan menghentikan penyelundupan ini. Padahal, populasi benih Zidat di Indonesia sangat melimpah, mencapai 12 miliar ekor secara alami di persawahan berlumpur.

Ironisnya, penyelundupan ini seringkali berkedok budidaya, yang pada akhirnya sangat merugikan negara. Jika masalah ini dibiarkan, potensi kerugian bagi ekonomi nasional akan semakin besar, sementara kekayaan hayati Indonesia terus dieksploitasi pihak asing.

Kesimpulan

Keempat isu di atas menunjukkan bagaimana kebijakan yang dibuat pemerintah sebelumnya penuh dengan kontradiksi, menguntungkan oligarki, dan menimbulkan kerugian bagi rakyat. Presiden Prabowo Subianto diharapkan mampu mengambil langkah tegas untuk mengatasi persoalan ini.

Rakyat membutuhkan kebijakan yang jelas, adil, dan berpihak kepada mereka. Jika pemerintah tetap membiarkan kebijakan kontradiktif ini berlangsung, kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara akan terus menurun. Saatnya berpihak pada rakyat, bukan oligarki.

Catatan Akhir

Kepemimpinan Prabowo Subianto membawa harapan besar bagi rakyat Indonesia. Namun, harapan ini hanya dapat terwujud jika pemerintah benar-benar tegas terhadap penyimpangan kebijakan dan keberpihakan terhadap rakyat menjadi prioritas utama.

(Penulis: Rusdianto Samawa – Jurnalis dan Pemerhati KebijakanPublik)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

INDONESIA BUBAR?

Oleh Sutoyo Abadi
pada hari Selasa, 28 Jan 2025
Pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden terpilih Prabowo Subianto di kediaman Jokowi di Solo, pada 13 Oktober 2024, meninggalkan sejumlah tanda tanya besar. Apa yang sebenarnya ...
Opini

Meneguhkan Demokrasi Pancasila dalam Pemilu Langsung: Perspektif Kongres Partai Gerindra 15 Februari

Pada tanggal 15 Februari, Kongres Partai Gerindra mencatatkan momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Ketika Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, menyampaikan pidatonya, ia ...