Proyek Nasional Strategis (PSN) PIK-2 yang kontroversial kini menjadi sorotan tajam banyak kalangan, terutama yang menyentuh isu dominasi etnis Tionghoa dalam bisnis dan perekonomian Indonesia. Pengelolaan proyek yang melibatkan pengusaha besar seperti Aguan dan Anthoni Salim dikatakan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, terutama di wilayah Banten yang memiliki sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah tindakan ini hanya melibatkan permasalahan ekonomi dan politik semata, atau sudah memasuki ranah diskriminasi etnis yang membahayakan integritas bangsa?
Penting untuk dicatat bahwa pemerintah Indonesia, melalui UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Etnis dan Ras, secara tegas menghindari segala bentuk diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA). Meskipun demikian, banyak pihak menilai bahwa sebagian kelompok pengusaha, khususnya yang beretnis Tionghoa, telah meraih kekuasaan ekonomi yang sangat dominan, hingga menimbulkan ketimpangan sosial. Bahkan, ada pandangan bahwa para elit politik dan aparat negara, yang seharusnya menjaga keadilan dan keberagaman, justru terlibat dalam kolusi yang merugikan kepentingan rakyat.
Proyek PIK-2, yang konon akan menjadi kawasan yang didominasi oleh fasilitas mewah dan investasi asing, tak luput dari kritik karena dianggap menguntungkan pihak-pihak tertentu, sementara rakyat kecil, khususnya di Banten, merasa terpinggirkan. Di tengah suasana ini, simbol-simbol yang mencerminkan dominasi etnis tertentu, seperti penggunaan lambang naga pada gerbang PIK-2, semakin menambah ketegangan dan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat. Sebuah kawasan yang seharusnya menjadi tempat pertumbuhan ekonomi yang inklusif, kini dilihat oleh banyak pihak sebagai simbol kekuatan asing yang mereduksi kedaulatan Indonesia.
Namun, dalam merespons isu ini, kita harus berhati-hati agar tidak jatuh dalam jebakan politik identitas yang berpotensi memecah belah bangsa. Sentimen etnis yang berlebihan dapat merusak persatuan dan memperburuk polarisasi sosial. Seperti yang telah kita pelajari dari sejarah perjuangan bangsa ini, termasuk perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap penjajahan Belanda, upaya penyatuan bangsa dan kedaulatan harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Hal ini bukan untuk membenarkan atau membela tindakan diskriminatif, tetapi untuk memastikan bahwa solusi yang diambil tidak memicu konflik yang lebih besar antar-golongan.
Apa yang dibutuhkan sekarang adalah dialog terbuka yang mengutamakan kepentingan bersama dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Prabowo, sebagai calon pemimpin yang memiliki pengaruh besar, harus menunjukkan keberanian untuk mengambil sikap tegas terhadap proyek ini dan mengevaluasi dampaknya terhadap rakyat Indonesia secara menyeluruh. Jika PIK-2 memang terbukti merugikan kesejahteraan masyarakat dan mengancam integritas bangsa, maka sudah saatnya bagi pemerintah untuk membatalkan proyek tersebut dan mencari alternatif pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Tentu saja, proses ini harus dilakukan tanpa menyinggung etnis tertentu, dan dengan mengedepankan prinsip inklusivitas. Gerakan anti-diskriminasi harus disertai dengan kesadaran akan pentingnya persatuan dan kerjasama antar-suku, agama, dan ras. Indonesia yang kita cintai ini berdiri di atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang mengajarkan kita untuk hidup berdampingan meskipun berbeda.
Sebagai bangsa yang besar, kita harus belajar dari masa lalu dan menjadikan kebijakan pembangunan yang memihak kepada kepentingan rakyat sebagai landasan untuk maju bersama. Pemerintah, bersama rakyat Indonesia, harus memastikan bahwa kebijakan dan proyek pembangunan yang diambil tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisanmasyarakat.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #