Awal Sebuah Kisah di Lorong Kekuasaan
Desember 2024. Di tengah lengangnya gedung perkantoran di Jakarta, tim penyidik KPK menyambangi dua lembaga penting: Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ruang kerja Gubernur BI, Perry Warjiyo, ikut menjadi sasaran penggeledahan. Dari sana, tumpukan dokumen, rekaman data, dan bukti transaksi keuangan dibawa keluar dalam kotak-kotak kardus.
Di balik operasi itu, ada dugaan bahwa dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari BI dan OJK telah dialirkan ke jalur yang seharusnya tidak pernah ada—menuju kantong para wakil rakyat di Komisi XI DPR RI.
Relasi Tiga Lembaga: BI, OJK, dan DPR
Komisi XI DPR memiliki kewenangan strategis: membidangi keuangan, perbankan, perencanaan pembangunan nasional, hingga pengawasan terhadap BI dan OJK. Setiap tahun, anggota komisi ini melakukan rapat kerja, pembahasan anggaran, dan evaluasi kinerja kedua lembaga tersebut.
BI dan OJK, meski bukan lembaga eksekutif biasa, mengelola dana besar, termasuk alokasi untuk CSR. Dalam konsepnya, CSR adalah komitmen lembaga atau perusahaan untuk memberikan manfaat sosial—biasanya berbentuk beasiswa, pelatihan, bantuan UMKM, atau proyek pemberdayaan masyarakat.
Namun, di titik inilah garis tipis antara niat sosial dan potensi penyalahgunaan mulai kabur. Dalam praktik, penyaluran CSR kerap melibatkan rekomendasi atau “fasilitasi” dari anggota DPR, terutama yang memiliki konstituen di daerah-daerah tertentu.
---
Pola Penyaluran yang Dipertanyakan
Berdasarkan temuan KPK, dana CSR didistribusikan melalui yayasan atau lembaga binaan anggota DPR. Secara formal, yayasan ini mengajukan proposal bantuan, mencantumkan program kegiatan sosial. Setelah disetujui, dana mengalir dari rekening BI atau OJK ke rekening yayasan tersebut.
Di atas kertas, semua tampak sah. Namun penyelidikan menemukan indikasi bahwa sebagian dana ditarik tunai atau dialihkan ke rekening pribadi, lalu digunakan untuk kepentingan yang sama sekali tidak terkait kegiatan sosial.
Dalam kasus dua tersangka—Heri Gunawan (Gerindra) dan Satori (NasDem)—aliran dana digunakan untuk membeli tanah, membangun rumah makan, showroom, bahkan outlet minuman. Nilainya miliaran rupiah: Rp 15,86 miliar untuk HG dan Rp 12,52 miliar untuk ST.
Lebih jauh lagi, dalam pengakuannya kepada penyidik, Satori menyebut bahwa sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI periode 2020–2023 juga menerima aliran dana serupa.
---
Celah Hukum dalam CSR Lembaga Negara
Secara regulasi, CSR perusahaan swasta diatur dalam UU Perseroan Terbatas dan UU Penanaman Modal. Namun, CSR lembaga negara seperti BI dan OJK berada di area abu-abu. Tidak ada aturan spesifik yang mengatur mekanisme detail penyalurannya, audit publiknya, maupun larangan tegas agar tidak melibatkan pihak yang memiliki konflik kepentingan politik.
Ketiadaan payung hukum yang ketat ini membuka ruang lebar bagi praktik yang sulit diawasi. Bahkan jika dana mengalir ke yayasan yang sah secara hukum, mekanisme pelaporan penggunaannya sering kali hanya bersandar pada laporan internal lembaga penerima, tanpa verifikasi independen.
Jalan Panjang Penyelidikan
KPK memulai langkah serius sejak akhir 2024. Selain penggeledahan, penyidik memanggil sejumlah anggota DPR dari berbagai fraksi untuk dimintai keterangan, termasuk Fauzi Amro, Charles Meikyansyah, Ecky Awal Mucharam, dan Dolfie Othniel Frederic Palit.
Meski baru dua nama yang berstatus tersangka, penyidik tidak menutup kemungkinan adanya penetapan tersangka baru. “Penyidikan masih berkembang. Kami akan mendalami keterlibatan pihak-pihak lain,” kata juru bicara KPK.
---
Dinamika di Senayan
Di internal DPR, kasus ini menjadi bisik-bisik di lorong-lorong parlemen. Beberapa anggota Komisi XI memilih bungkam. Pimpinan DPR belum mengeluarkan pernyataan resmi.
Di sisi lain, publik mulai mempertanyakan integritas hubungan antara BI, OJK, dan DPR. Apakah pengawasan DPR benar-benar dijalankan demi kepentingan rakyat, ataukah menjadi pintu masuk bagi barter kepentingan melalui aliran dana CSR?
Suara Publik dan Seruan Reformasi
Pegiat antikorupsi menilai, kasus ini adalah momentum untuk mereformasi tata kelola CSR lembaga negara. “CSR dari lembaga negara harus transparan, akuntabel, dan diaudit oleh pihak independen. Jika tidak, CSR akan jadi alat politik yang merusak fungsi pengawasan DPR,” ujar seorang pengamat kebijakan publik.
Dorongan reformasi juga menyasar revisi regulasi, termasuk pelarangan tegas bagi anggota DPR menerima atau memfasilitasi dana CSR, untuk menghindari konflik kepentingan.
Menunggu Babak Selanjutnya
Kasus ini belum usai. KPK masih memanggil saksi, menelusuri aliran dana, dan menyiapkan langkah hukum berikutnya. Pertanyaan besar masih menggantung: apakah benar seluruh anggota Komisi XI menerima dana CSR, ataukah ini hanya praktik segelintir orang yang akhirnya terkuak?
Yang pasti, publik menunggu pembuktian di pengadilan, bukan sekadar rumor di ruang publik. Di tengah tuntutan transparansi, kasus CSR BI dan OJK bisa menjadi preseden penting bagi hubungan antara lembaga pengawas keuangan dan parlemen.
Catatan: Semua pihak yang disebut dalam kasus ini memiliki hak untuk memberikan klarifikasi. Informasi terkait jumlah dana dan keterlibatan anggota DPR selain dua tersangka saat ini masih berstatus dugaan dan belum diputuskan secara hukum.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #