Gelombang demonstrasi kembali mewarnai jalan-jalan ibu kota dan berbagai daerah. Dari Reformasi 1998, Aksi 212, demonstrasi mahasiswa 2019, hingga peristiwa 25–31 Agustus 2025, pola yang berulang terlihat jelas: aspirasi rakyat tidak tertampung secara sehat, aparat gagal menjaga komunikasi, dan provokasi kecil bisa menjelma menjadi kerusuhan massal.
Fenomena ini bukan sekadar peristiwa insidental, melainkan gejala serius dari kegagalan tata kelola demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia.
---
Akar Masalah: Aspirasi yang Buntu, Kepercayaan yang Hilang
Demonstrasi pada hakikatnya adalah ruang konstitusional bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat. Namun, ketika kanal formal seperti parlemen, partai politik, dan mekanisme konsultasi publik tidak dipercaya, rakyat memilih turun ke jalan.
Sejarah menunjukkan bahwa krisis kepercayaan ini berulang. Pada 1998, mahasiswa dan rakyat turun karena Orde Baru dianggap tidak lagi mewakili aspirasi bangsa. Pada 2016, aksi jutaan umat Islam mengguncang Jakarta karena merasa hukum diperlakukan tidak adil dalam kasus Ahok. Pada 2019, mahasiswa kembali turun karena DPR dan pemerintah dinilai meloloskan undang-undang yang melemahkan KPK. Dan pada Agustus 2025, ribuan massa memenuhi jalanan karena kecewa terhadap krisis ekonomi-politik yang tak kunjung diatasi pemerintahan baru.
Ketika suara rakyat tidak didengar, aksi pun menjadi pilihan utama.
---
Dinamika Lapangan: Antara Aspirasi dan Represi
Setiap demonstrasi dimulai dengan niat menyuarakan pendapat. Namun, interaksi di lapangan sering menjadi titik kritis.
Aparat keamanan cenderung menggunakan pendekatan represif. Penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan nasional yang akhirnya menjatuhkan Soeharto. Pada 4 November 2016, bentrokan di depan Istana justru memperbesar gelombang aksi 212. Pada 2019, gas air mata dan peluru karet di sekitar Gedung DPR menewaskan mahasiswa di Kendari. Dan pada Agustus 2025, penggunaan water cannon serta gas air mata di Jakarta membuat situasi cepat membara.
Dalam setiap momentum, provokator selalu hadir, baik dari kalangan massa sendiri maupun pihak luar. Akibatnya, demonstrasi yang semula damai berubah menjadi kerusuhan massal.
---
Lingkaran Kekerasan: Rakyat dan Aparat Sama-Sama Terjebak
Kerusuhan massal pada akhirnya adalah lingkaran kekerasan. Demonstran frustrasi karena suaranya diabaikan. Aparat frustrasi karena harus menghadapi massa yang sulit dikendalikan. Ketika emosi menguasai, gas air mata dijawab dengan lemparan batu, water cannon dijawab dengan pembakaran ban.
Dalam situasi seperti itu, yang paling menderita adalah rakyat sendiri: mahasiswa yang gugur, masyarakat sipil yang menjadi korban, serta fasilitas umum yang rusak.
---
Jalan Keluar: Dialog dan Kepastian Hukum
Pertanyaannya, sampai kapan pola ini akan berulang? Reformasi 1998 seharusnya menjadi pelajaran bahwa kekerasan hanya melahirkan kehancuran. Aksi 212 membuktikan bahwa ketika aparat memilih persuasif, potensi kerusuhan bisa ditekan. Demo mahasiswa 2019 dan peristiwa Agustus 2025 menegaskan kembali: tanpa ruang dialog, kekerasan hanya akan berulang.
Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang berani membuka kanal aspirasi rakyat, penegakan hukum yang adil, serta aparat keamanan yang disiplin menjalankan SOP pengamanan. Demonstrasi tidak boleh lagi dilihat semata sebagai ancaman keamanan, melainkan alarm keras bahwa ada persoalan serius yang menuntut solusi.
Demonstrasi yang berulang hingga kerusuhan massal adalah cermin krisis demokrasi kita. Baik demonstran maupun aparat sama-sama bisa menjadi penyebab. Namun akar persoalannya tetap sama: ketidakmampuan negara menyalurkan aspirasi rakyat secara adil dan demokratis.
Jika pola ini dibiarkan, maka Indonesia akan terus terjebak dalam siklus protes–represi–kerusuhan. Saatnya negara belajar mendengar, bukan sekadar membungkam.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #