JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Direktur Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean menilai di balik rencana pemerintah dalam hal ini Pertamina yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pasca-Lebaran bukanlah hal yang aneh. Sebab, hal tersebut seringkali diungkapkan pemerintah tanpa konsep yang matang.
"Kita memang melihat bahwa keinginan Pertamina untuk segera menaikkan harga BBM terutama Premium RON 88 sangat besar, bahkan bukan baru sekarang karena Pertamina selalu mengaku rugi karena menjual rugi produk ini tanpa subsidi dari pemerintah," kata dia di Jakarta, Jumat (17/7/2015).
Sikap demikian kata dia, menyebabkan tanda tanya di tengah publik.
"Ini yang aneh sebetulnya, kenapa pemerintah katanya memaksa Pertamina menjual rugi premium 88 tanpa subsidi. Benarkah demikian? Siapa yang tidak jujur dalam hal ini, Pertamina atau Pemerintah?" ujarnya.
"Itulah kenapa dari dulu kita meminta Pertamina jujur ke publik tentang harga produksi Premium 88 itu berapa dan apa saja komponen penentu harganya, supaya kita hitung sama-sama apakah benar Pertamina rugi secara jujur atau rugi karena sengaja dibuat rugi atau ada pemborosan disana, berani ngga Pertamina?"
Masalah harga ini, ketus dia, jangan dijadikan isu utama di Pertamina, karena banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan untuk menata ulang Pertamina dan memperbaiki kinerja Pertamina.
Terkait rencana kenaikan harga BBM pasca-lebaran, kata dia, merupakan sebuah ironi yang terjadi. Di satu sisi harga minyak dunia cenderung stagnan dan bahkan mengarah pada penurunan harga, tapi di sisi lain nilai tukar rupiah terus merosot terhadap dolar, imbuh dia.
"Nah ini yang perlu dihitung secara cermat dan terbuka, seberapa besar pengaruh penurunan harga minyak pada harga jual dan seberapa besar pengaruh Dolar terhadap harga jual, jika setelah dihitung ternyata pengaruh keduanya menjadikan harga seimbang, ya berarti jangan dinaikkan dong," tegas dia.
Dijelaskan, dalam kasus ini ada dua komponen penentuan harga yang berbanding terbalik, harga minyak cenderung turun sementara dolar naik.
"Di sini dibutuhkan kejujuran dan keterbukaan layak atau tidak harga BBM naik pasca-lebaran," tandas dia.
Idealnya kata dia, jika melihat komponen-komponen penentuan harga, ya harga BBM belum layak dinaikkan saat ini. Sebab kecenderungan harga minyak turun sementara dolar tidak naik terus-terusan tapi kadang-kadang menguat.
"Namun demikian, kita tuntut saja Pertamina dan pemerintah terbuka ke publik tentang penentuan harga keekonomian BBM supaya kita bisa kaji bersama-sama demi menjaga rasa keadilan publik," tukas dia.
Ia juga melihat bahwa Pertamina saat ini sudah beberapa kali berjalan sendiri tanpa persetujuan pemerintah. Salah satu contoh rencana kebaikan BBM non-subsidi bulan Mei lalu yang tiba-tiba dibatalkan beberapa menit menjelang harga baru tersebut akan berlaku.
"Untuk mengatasi hal ini, Pertamina harus melakukan efisiensi ketat. Karena kita duga bahwa terjadi inefisiesi dan pemborosan yang terjadi yang dimulai sejak dari proses tender pengadaan BBM hingga suplay BBM ke publik, dan tentu efisiensi di segala lini di Pertamina, sektor pengadaan barang jasa sangat boros di Pertamina yang mengakibatkan biaya perusahaan meningkat, dan tentu biaya perusahaan ini akan dibebankan ke produk pertamina termasuk pada BBM yang menjadi bisnis utama Pertamina," papar dia.
"Dan tentu secara politis ini tidak baik karena akan mengundang reaksi kemarahan publik." (iy)