JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Banyak kasus penggusuran paksa yang terjadi di DKI Jakarta, namun warga terdampak tak pernah mendapatkan ganti rugi atau kompensasi yang layak. Kasus terbaru adalah penggusuran paksa terhadap warga di Kampung Pulo, Jakarta Timur.
Kepala Divisi Penelitian Lembaga Batuan Hukum (LBH) Jakarta, Pratiwi Febry menyebutkan, banyak warga yang tinggal di Kampung Pulo selama puluhan tahun, sesungguhnya berkesempatan menjadi pemilik tanah yang sah.
"Dalam banyak kasus hal itu sering diabaikan. Kasus terakhir yang menimpa warga di Kampung Pulo, padahal mereka seharusnya bisa menjadi pemilik tanah yang sah," kata Pratiwi di kantor LBH Jakarta, Rabu (26/8/2015).
Hak kepemilikan tanah, lanjut Pratiwi, sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1963 jo. 1967 Kitab UU Hukum Perdata menyebut, warga yang menduduki suatu tanah, dengan itikad baik selama kurun waktu 30 tahun atau lebih, dapat mendaftarkan tanah tersebut sebagai miliknya.
Namun, kata dia, hasil penelitian LBH Jakarta menunjukkan, setidaknya ada 11 kasus yang warga terdampaknya telah mendiami tanah tersebut dalam kurun waktu diatas 30 tahun dan tetap menjadi korban penggusuran paksa tanpa ganti rugi yang layak.
Dengan demikian, jika pemerintah menaati aturan hukum yang berlaku, karena warga telah memenuhi syarat dan kriteria formal untuk memiliki tanah, maka pemerintah daerah tidak boleh melakukan penggusuran paksa.
Menurutnya, penggusuran paksa hanya boleh dilakukan pemerintah daerah jika dapat membuktikan bahwa ia memiliki Hak Pengelolaan setelah memperoleh kepastian hukum melalui putusan pengadilan.
Sementara mengenai mekanisme perolehan tanah, juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah jo. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang tata cara pemberian atau pembatalan Permohonan Hak atas tanah. (mnx)