Delik Korupsi menjadi hukum positif sejak diabsorbsi dalam KUHP (Wetboek Van Strafrecht Voor Netherland Indie 1915) mengenai delik jabatan. Secara redaksional mulai disebut delik korupsi oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat/PRPP Tahun 1964, lanjut diatur oleh UU No.7/1971, dan 31/1999, serta 20/2001, dan UU No 30/2002.
Munculnya UU Administrasi Pemerintahan (UU AP) adalah tafsir yang sebenarnya membiaskan pengertian delik korupsi, menjadi delik perdata administrasi negara. Wahyudi, seorang Jaksa, menuduh itu hasil jurus pendekar hitam hukum.
"Definisi korupsi membias dan kehilangan substansinya", katanya. Soalnya, pakar pidana tak dilibatkan dalam UU AP. Secara gamblang praktik korupsi adalah ngemplang uang negara dengan cara ngapusi (berbohong-red).
Jelas bedanya dengan kebijakan aparatur negara atau mal administrasi. Bagaimana mungkin delik korupsi disamakan dengan kebijakan aparatur negara yang tak bisa dipidana? "Ini gagal paham", kata Wahyudi.
Wahyudi benar. Cuma yang selama ini tak ada, adalah alat pengurai delik korupsi dengan mis management atau mal administratif. UU AP menurut saya, adalah voluntee generale yang dibutuhkan kini. Namun demikian, UU AP itu masih anyar. Baru beberapa bulan lalu habis masa uji petiknya setelah diratifikasi 2014. Jadi, empiriknya belum ada.
Empiris pertama adalah tindakan Komjen Budi Waseso dalam skandal RJ Lino (Pelindo II). Jika dalam pelaksanaan perdana KUHP, dibentuk forum MAKEHJAPOL (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian) yang memantau aplikasi kasus UU KUHP, ada pentingnya juga dibentuk forum semacam itu dalam rangka law enforcement UU AP. Sebab, salah-salah, delik korupsi bertransformasi ke mal administrasi.
Dalam UU AP, jika terjadi penyimpangan keuangan negara, tak bisa langsung dihadapkan kepada hukum sebelum diperiksa tuntas oleh badan pemeriksa internal, antara lain, inspektur pengawasan. Kelemahannya ialah, kemampuan para inspektur, selain SDM nya sangat terbatas, juga objektivitasnya diragukan.
Lagi pula, delik korupsi yang diklasifikasi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) harus didrop dari RUU KUHP agar tak berubah menjadi pidana umum (Pidum), dari sifatnya yang pidana khusus (Pidsus). Jika tidak, bisa jadi kasus Pidsus nyasar ke Pidum, lalu disidangkan di Pengadilan Umum, yang mestinya di Tipikor. Bisa batal itu!
Bisa terjadi seperti dalam kasus Udar, hakim menilai ia tak berkorupsi dalam kasus Bus Trans Jakarta. Bisa jadi adalah mal administratif atau hakimnya yang mal administratif. (Catatan: dalam kasus Udar, tak bisa lebih jauh karena belum inkraht).
Dulu, Dirut Bank Mandiri, ECW Neloe, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan malah vrijspraak (bebas murni) ditangani OC Kaligis. Tapi MA berpendapat lain. Di Kasasi Neloe diganjar 10 tahun penjara. Saya mengikuti kasus ini, karena mengajukan Hak Angket Skandal Korupsi Bank Mandiri yang Rp 20,1 triliun itu.(*)
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #djoko edhi #korupsi #perdata