Demikian pendapat guru besar emeratus bidang hukum internasional, Ko Swan Sik di sela-sila penutupan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 di Den Haag, Jumat (13/11/2015).
“Kalau kita memikirkan kemungkinan peradilan yang sebenarnya saya kira akan sukar sekali. Bagaimana caranya mencari bukti apa yang keluar dari kesaksian-kesaksian kemarin.
“Kalau itu terjadi dalam sidang pengadilan yang benar, saya kira tidak kuat karena sebagian berdasarkan kesaksian apa yang didengar,” jelas mantan profesor di Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda itu.
Ia merujuk pada sebagian kesaksian yang diberikan dalam IPT 1965. Namun demikian, kesaksian yang disampaikan langsung oleh para korban yang mengalami sendiri, seperti Martono, seorangsaksi kekerasan seksual dari Yogyakarta dan seorang saksi penghilangan paksa dari Nusa Tenggara Timur sangat kuat.
Salah satu hambatan kunci mengangkat peristiwa selama periode pergolakan politik 1965-1966, dikatakan oleh Ko Swan Sik, adalah mencari para terdakwa setelah setengah abad lalu.
“Meskipun hal-hal demikian itu kita terima sebagai kebenaran, apa yang terjadi sebenarnya, kan orang-orang yang melakukannya sukar sekali dicari.
“Bagaimana bisa kita mencari orang-orang itu, mungkin masih ada satu atau dua orang yang masih hidup tapi korbannya mungkin ratusan ribu orang. Saya kira untuk mencari terdakwa-terdakwa sukar sekali setelah 50 tahun,” jelasnya kepada BBC.
Pendorong
Oleh karenanya, ia tidak yakin peristiwa tersebut dapat diselesaikan apalagi melalui sidang rakyat, seperti Pengadilan Rakyat 1965, yang putusannya tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ko Swan Sik berpendapat putusan pengadilan-pengadilan rakyat berfungsi sebagai pendorong lagi bagi lembaga-lembaga berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
Dalam putusan sela, hakim IPT 1965 menetapkan bahwa bukti-bukti menunjukan pelanggaran hak asasi manusia berat memang telah terjadi.
Komnas HAM merampungkan penyelidikan terkait peristiwa yang diduga menewaskan ratusan ribu hingga satu juta orang itu pada 2012 dan menyerahkan hasilnya ke Kejaksaan Agung tetapi hingga kini belum ada kelanjutannya. (iy/bbc)