Hubungan rakyat dan penguasa di Indonesia layaknya atasan dan bawahan. Sinyal kepedulian penguasa kepada rakyatnya terasa ‘nyaring’ bunyinya. Sikap kritis dari rakyat dianggap anarkis. Upaya untuk meluruskan penguasa ke rel kebenaran dianggap perbuatan makar dan bar-bar. Sebaliknya, penguasa saat ini tak pernah melakukan koreksi diri untuk semakin dicintai rakyatnya. Malahan penguasa mencoba ‘mengkudeta hati’ rakyat dengan pernyataan yang membingungkan dan jauh dari solusi kebangsaan.
Di tengah kegalauan penguasa yang tergoyang kursinya, mereka mencoba menegakkan kembali kursi goyangnya. Beragam cara dan manuver politik ditempuh untuk membelokkan arah tuntunan rakyat Indonesia. Upaya berserikat dan berkumpul yang akan dilakukan umat pada 2 Desember 2016 dianggap ‘makar’ dan ‘melenceng dari niat awal’. Aksi 212 (2 Desember 2016) dianggap banyak madharat dan beragam pernyataan lainnya. Sudah sebegitukah ketakutan penguasa? Jika demikian adanya, maka ‘muhasabah diri’ dan evaluasi perlu dilakukan sedari awal. Jangan sampai rakyat tersakiti hatinya karena penguasa abai mengurusi urusan rakyatnya.
Isu Makar yang Mencakar
Makar dianggap perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Isu makar menjadi senjata penguasa layaknya jaring untuk menangkap dukungan dari rakyat yang “kosong pemahaman politik”. Dalam sistem politik demokrasi, isu-isu kerap ditebar layaknya propaganda. Isu merupakan salah satu jenis berita yang melebihi “takaran” sebenarnya. Biasanya, isu tumbuh subur di tengah-tengah krisis kepercayaan. Orang mudah termakan isu jika kepercayaan akan kebenaran suatu informasi pada dirinya sudah terkikis. Berita yang dilansir dengan kefasikan dan kemunafikan akan menjadi isu yang menyesatkan dan mebahayakan.
Dalam kondisi perang isu makar muncullah ‘lembaga’ desas-desus semakin subur. Sikap saling tuding membudaya, bahkan main ciduk bisa dilakukan tanpa memperhatikan kaidah praduga tidak bersalah. Sikap represif penguasa berakibat antipati dan kian benci rakyat. Upaya menghalang-halangi ‘kegiatan positif’ rakyat, bisa dianggap penguasa tak lagi berpihak pada kebenaran.
Media massa sebagai penyampai kabar berita pun terbelah. Ada yang koalisi penguasa dan oposisi penguasa. Berita yang ditampilkan media koalisi penguasa akan senantiasa membebek dan membenarkan setiap langkah yang ditempuh penguasa. Sebaliknya, media oposisi penguasa akan senantiasa bersikap kritis dan ‘skeptis’ dalam penyikapan kebijakan penguasa. Suatu dilema bagi rakyat di tengah digitalisasi media dan sumber informasi. Sebagian rakyat pun pro dan kontra dalam menghadapi suatu berita. Bagi rakyat yang senantiasa memahami kebenaran dan tidak mempercayai media massa manapun, maka media sosial menjadi andalan dalam penyampaian kebenaran. Tampaknya menjadi tren tersendiri media sosial yang kian mengglobal dan setiap orang layak menjadi pewarta berita.
Perang isu di media sosial dan dunia maya saat ini bisa dirasakan akibatnya. Tak terkecuali isu makar pada aksi 212 yang terlontar dari pusat istana. Pembantu presiden pun tak satu suara dalam menanggapi isu aksi 212. Sementara pihak keamanan dan militer sudah memberikan sinyal peringatan untuk menahan gelombang pergerakan massa. Beberapa elemen umat yang awalnya bersatu kini bersuara untuk memberikan’rem’ agar umatnya tak bergerak menuju Jakarta. Pemerintah daerah tak ketinggalan pula, khawatir rakyatnya terkena masalah dalam aksi 212. Lantas, apakah dengan melontarkan “isu makar” gerakan rakyat menjadi gemetar? Atau justru “isu makar” yang terlontar akan membakar dan menjadi gaduh di negeri ini? Inilah gambaran penguasa saat ini yang mencoba menutup segala celah ketidakmaunya mengurusi urusan umatnya. Mereka bardalih agar umat beralih dan tak menuntut yang menjadikan penguasa takut.
‘Kudeta Hati’ dan Hasrat Rakyat
Aksi-aksi heroik umat Islam yang diawali 411 (4 November 2016) dan berlanjut pada 212 (2 Desember 2016) dicoba dengan “kudeta hati” pada rakyat dengan beragam cibiran. Mulai dari ditunggangi aktor politik, aksi bayaran, hingga perbuatan makar. Apakah penguasa tidak membaca dan mendengarkan tuntutan rakyat? Justru penguasa sendiri yang coba mengalihkan tuntutan rakyat dengan dipolitisir dan didramatisir. Upaya itu sesungguhnya menunjukkan bahwa penguasa sudah ‘kalap’. Rakyat dipandang sebagai pemberontak yang hendak meruntuhkan kekuasaannya dan sebagai musuh negara. Karena itu, penguasa menyusun tipu daya untuk membungkam rakyat. Hal ini menyebabkan rakyat tiada memiliki harapan untuk dapat melangkah maju, walau hanya selangkah.
Konsekuensi dari itu semua, penguasa lebih sibuk dan berkonsentrasi menyelamatkan kursinya, meskipun untuk itu mereka meminta dukungan dan bantuan dari musuh-musuh rakyat dan para pengkhianat. Penguasa pun hendak menjadikan rakyat jumud dan dalam keadaan lemah, agar mereka tetap berada dalam kendali negara.
Aksi 411 merupakan kemenangan sementara, sedangkan aksi 212 hendaknya menjadi puncak kemenangan yang tak hanya menjadikan penahanan tersangka penista agama. Lebih dari itu, rakyat yang mayoritas umat Islam harus disatukan jiwa, pemikiran, dan raganya untuk menuntut lebih. Bisa tuntutan GANTI SISTEM DAN GANTI REZIM yang sesuai dengan AQIDAH ISLAM. Bila rakyat menyadari bahwa dirinya-lah sumber kekuasaan,serta melaksanakan kewajibannya dalam mengoreksi penguasa. Maka maka pemimpin yang berkuasa tidak akan pernah dapat memimpin rakyat. Demokrasi hanya memanfaatkan rakyat sebagai klaim dalam suara. Sementara mayoritas rakyat sesungguhnya tak menghendakinya.
Kesadaran dan persatuan rakyat harus terus diingatkan bahwa mereka harus terlepas dari kaki-tangan musuh-musuh Islam. Jangan sampai ‘masuk angin’ dan sekadar pragmatisme. Hasrat rakyat harus terus didorong untuk senantiasa mengoreksi penguasa. Bila rakyat tidak berbuat demikian, tidak diragukan lagi, kehidupan rakyat akan semakin terpuruk sebagaimana yang terjadi saat ini sampai pada kehancurannya.
Islam mewajibkan umatnya untuk senantiasa mengoreksi penguasa dan menyampaikan kebenaran padanya. Di manapun mereka berada tanpa rasa takut karena celaan manusia. Semua itu dilandasi atas keimanan kepada Allah Swt , sebaik-baik pembuat skenario tatkala sekelompok manusia mencoba memadamkan cahaya Islam. mengoreksi penguasa yakni menyerukan kebaikan (ma’ruf) dan melarang yang buruk (munkar), merupakan bagian dari perintah Allah Swt (QA Ali Imran:104).
Oleh karena itu hasrat perjuangan harus terus digelorakan hingga puncak kemenangan Islam. Upaya itu juga diikuti dengan menyingkirkan segala penghlang. Rakyat saat ini menuntut diurusi kehidupannya dan dilayani dengan semestinya. Perjuangan ini merupakan langkah pertama menuju kebangkitan umat. Kebangkitan tak akan pernah tercapai tanpa tegaknya pemerintahan yang berdasarkan AQIDAH ISLAMIYAH. Tidak ada jalan lain untuk mengakan pemerintahan Islam kecuali dengan berjuang menghadapi para penguasa dzalim dan mongoreksinya. Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan! Inilah tanda “lonceng kematian” bagi rezim yang tidak segera sadar dan kembali untuk bersama rakyatnya. Sadarilah!
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #islam-menggugat-ahok #penistaan-agama