KATA "diskresi" saat ini menjadi senjata bagi aparat atau pejabat untuk melakukan pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata itu paling sering diterapkan polisi. Contoh paling gampang adalah saat mengatur lalu lintas yang macet.
Polisi lalu lintas (polantas) sering menyilakan kendaraan, terutama sepeda motor maju melampaui garis putih tanda berhenti di perempatan jalan. Atau, polisi sering pula menyilakan kendaraan yang masih disetop lampu merah untuk terus jalan. Atau, tak jarang polantas menyilakan kendaraan untuk memasuki jalur busway. Tujuan diskresi itu adalah untuk mengurai kemacetan yang sangat parah. Semua pihak maklum.
Lalu bagaimana dengan diskresi yang dilakukan Presiden Jokowi dengan mengeluarkan surat keputusan presiden (keppres) yang mengangkat Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas (plt) Kapolri. Kapolri definitif, yaitu Jenderal Sutarman dicopot dengan hormat tanpa sebab. Keluarnya keppres buat Badrodin menggunakan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah.
Dalam UU itu mengatur bahwa diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang, dengan tujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Diskresi itu ditempuh Presiden setelah Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesaat sebelum Komisi III DPR melakukan fit and proper test terhadap Budi Gunawan. Komisi III DPR "nekat" memproses fit and proper test dengan cepat dan menyetujui usulan Presiden Jokowi menunjuk Budi sebagai Kapolri walaupun Budi sudah berstatus sebagai tersangka. Dengan alasan, praduga tak bersalah.
Proses dari tersangka menjadi terpidana, yaitu setelah berketetapan hukum tetap (in kracht) membutuhkan waktu yang panjang. Lagi pula, setelah menjalani proses hukum di pengadilan, belum tentu tersangka menjadi terpidana, sebab siapa tahu justru akan bebas murni.
Kini, Komisi III DPR yang semula memuluskan kebijakan Jokowi yang ingin mengganti Kapolri, berbalik "menyerang" karena diskresi itu tidak pada tempatnya. Lagi pula Presiden tidak minta persetujuan DPR terlebih dulu. Tidak ada pasal yang mendukung Presiden melakukan diskresi itu. Sutarman dicopot tidak dengan alasan yang membolehkan pencopotan itu. Saat Budi Guawan urung dilantak menjadi Kapolri setelah mengantongi persetujuan DPR, Presiden Jokowi pun menempuh "jalan pintas" agar semua kepentingan terakomodasi, yaitu mengangkat Badrodin sebagai plt Kapolri.
Harusnya Presiden minta persetujuan lebih dulu ke DPR untuk mem-plt-kan Badrodin. Kini Komisi III didera isu adanya aliran dolar untuk memuluskan fit and proper test terhadap Budi Gunawan. Ketua KPK Abraham Samad ditengarai tengah bermain mata dengan Sutarman. Pihak Istana dicurigai bahwa rencana pengangkatan Budi Gunawan sebagai Kapolri dalam upaya mengamankan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dari jeratan kasus BLBI.
Tiga pihak telah bermain bola panas, Istana, DPR, dan KPK. Tentu persoalan ini berbuntut panjang dan masyarakat ingin tahu dengan sejelas-jelasnya apa yang sesungguhnya terjadi di balik pencopotan Sutarman yang baru pensiun pada Oktober 2015. (b)