Berita
Oleh Ferdiansyah pada hari Senin, 11 Sep 2017 - 20:00:00 WIB
Bagikan Berita ini :

DPD RI Sesalkan Dinkes DKI Tak Menjatuhkan Sanksi Terhadap RS Mitra Keluarga

87Dailami-Firdaus-emka.jpg
Dailami Firdaus (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Kasus kematian bayi Tiara Debora di RS Mitra Keluarga Kalideres menuai banyak reaksi dari berbagai kalangan, di antaranya dari kalangan anggota DPD RI. Seruan agar rumah sakit tersebut diberikan sanksi pun disuarakan senator.

Dugaan penolakan RS melayani kebutuhan perawatan pasien bayi Debora hingga menyebabkan pasien meninggal tersebut mendapat kecaman dari anggota DPD RI Dailami Firdaus.

Baginya, alasan RS menolak melakukan pelayanan hanya karena uang jelas bertentangan dengan fungsi sosial rumah sakit.Terlebih, menurut Dailami, UU Kesehatan sudah mengatur RS dilarang untuk menolak pasien dan meminta uang muka.

“Sudah jelas tertulis di UU No.36/2009 tentang Kesehatan, dimana pada pasal 32 ayat 2 dijelaskan bahwa dalam keadaan darurat, faskes baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka” tegas Dailami dalam siaran persnya, Senin (11/9/2017)

“Dari sana saja kita sudah bisa memahami bahwa apa yang dialami oleh orangtua Debora, dimana RS menolak memasukan Debora ke ruang PICU dengan alasan tidak sanggup membayar uang muka jelas RS telah melanggar UU Kesehatan. Dan bagi yang melanggarnya ada sangsinya yaitu penjara 2 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta, dan jika menyebabkan kematian dipenjara 10 tahun dan denda 1 milyar,” tambah Dailami.

Dailami yang juga Dewan Pembina Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia) menjelaskan bahwa dalam UU Kesehatan No.36/2009 tegas menuliskan sanksi bagi pelanggarnya yaitu pada pasal 190 ayat 1 yang berbunyi, Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melanggar pasal 32 ayat 2 itu dipenjara maksimal 2 tahun penjara dan denda maksimal Rp 200 Juta.

Sedangkan pada ayat 2 nya pada pasal yang sama disebutkan, Jika menyebabkan kematian, dipenjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Dailami juga menyesalkan sikap pemprov DKI yang diwakili oleh Kepala Dinas Kesehatan DKI yang menyatakan wafatnya bayi Debora hanyalah kesalahan persepsi dalam komunikasi yang dilakukan antara petugas administrasi RS dengan orangtua Debora.

“Ini sama saja kepala dinas kesehatan menganggap rakyat telah berbohong, dan RS telah bekerja sesuai prosedur. Padahal ada peristiwa dimana PICU tidak diberikan karena orangtua Debora tidak mampu membayar uang muka,” sesal Dailami.

Ia juga menyesalkan pihak keluarga korban oleh kepala dinas kesehatan tidak sama sekali diundang untuk diminta keterangannya. Sehingga informasi yang didapat kepala dinas bersumber dari kedua belah pihak, dan memenuhi syarat keadilan dalam memutuskan keputusannya terhadap kasis yang menyebakan hilangnya nyawa seseorang.

Terakhir Dailami meminta kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Djarot Syaifullah Hidayat untuk mennyelidiki ulang kasus kematian Debora yang dianggapnya keputusan kepala dinas kesehatan DKI tidak memenuhi unsur keadilan.

“Apalagi dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pemprov DKI dalam hal ini Gubernur memiliki tanggung jawab dalam hal fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap RS yang berada di wilayah DKI Jakarta,” pungkasnya.

tag: #dpd  #kasus-bayi-deborah  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement