Opini
Oleh Agus Supriyatna pada hari Rabu, 08 Apr 2015 - 13:21:06 WIB
Bagikan Berita ini :

"Perang" Dua Sekondan Pendukung Presiden

36PhotoFunia-1428473443.jpg
Luhut B. Panjaitan (kiri) dan Akbar Faisal (Sumber foto : Eko S Hilman/TeropongSenayan)

Luhut Binsar Panjaitan, pensiunan jenderal bintang empat TNI-AD ini tengah jadi perbincangan hangat. Nama Luhut, kini banyak dikutip dalam berita-berita yang dimuat berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Luhut ramai dikutip, bukan karena langkahnya sebagai Kepala Staf Kepresidenan, lembaga baru yang menggantikan UKP4. Tapi nama sang jenderal banyak diberitakan, karena isu sedot data Komisi Pemilihan Umum.

Adalah Akbar Faisal, politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem), yang membuat nama Luhut, melambung. Partai NasDem sendiri, adalah salah satu partai penyokong utama Jokowi-Jusuf Kalla. Bahkan, partai yang sekarang dinakhodai Surya Paloh, bos Metro TV, adalah partai pertama yang menyatakan ikut mendukung Jokowi, kala Presiden terpilih itu masih berstatus calon RI-1 dari PDIP. Dan, Akbar sendiri, ketika Jokowi yang kemudian berduet dengan Jusuf Kalla menang dalam pemilihan, bisa dikatakan salah satu orang penting di tim pemenangan pasangan nomor urut dua tersebut.
Pasca Jokowi dan Kalla sudah dinyatakan jadi jawara, Akbar didapuk menjadi salah satu deputi di tim transisi yang diketuai Rini Soemarno. Tim ini dibentuk atas inisiatif Jokowi, untuk mengawal persiapan peralihan kekuasaan dari Susilo Bambang Yudhoyono ke mantan Wali Kota Solo tersebut.

Luhut sendiri, bukan orang sembarangan. Sang jenderal, bisa dikatakan, adalah salah satu tokoh beringin yang pertama kali terang-terangan mendukung pencalonan Jokowi. Padahal ketika itu, Golkar sudah menggadang, Aburizal Bakrie sang ketua umum partai, mantan saudagar terkaya di Indonesia. Saat itu Luhut masih berstatus sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai. Ketua Dewan Pertimbangan Golkar sendiri dijabat oleh Akbar Tandjung.

Sejarah mencatatkan, Aburizal gagal maju gelanggang dan memutuskan mendukung Prabowo-Hatta Rajasa, rival Jokowi-Kalla di pemilihan presiden. Luhut pun memutuskan meletakan jabatan di beringin dan bergabung dengan tim pemenangan Jokowi. Jokowi akhirnya menang. Luhut dan Akbar masuk dalam tim transisi. Akbar masuk duluan, baru setelah itu Luhut. Akbar diangkat sebagai salah satu deputi, sementara Luhut menjadi penasehat tim transisi, bersama Hendropriyono, Buya Syafii Ma'arif dan Hasyim Muzadi.

Dalam kontek ini, Akbar dan Luhut, adalah dua sekondan. Mereka satu barisan, sama-sama berjuang memenangkan Jokowi dan bekerja di tim yang sama. Namun akhirnya, nasib Akbar tak semujur Luhut, serta petinggi tim transisi lainnya. Rini, kepala tim transisi misalnya masuk kabinet. Pun Andi Widjajanto, kolega Akbar di tim transisi yang juga salah satu deputi, masuk Istana setelah didaulat Jokowi menjadi Menteri Sekretaris Kabinet. Luhut juga demikian, meski agak terlambat, akhirnya Jokowi menempatkanya sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Bahkan dikemudian hari, kewenangan Luhut bertambah dengan keluarnya Perpres yang diteken Jokowi.

Kewenangan yang sempat memantik reaksi Jusuf Kalla, yang merasa Luhut 'mempreteli' perannya. Sementara Hasyim Muzadi, diangkat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Buya dan Hendropriyono sendiri, tak dapat posisi apa-apa. Buya menolak diberi jabatan. Hendro, mantan Kepala BIN di era Megawati, meski tak dapat posisi, masih jadi orang penting di lingkaran Istana. Hanya Akbar dan Hasto Krisyanto, deputi tim transisi lainnya yang tak kebagian 'jatah'.

Hasto masih beruntung, karena ditarik Megawati ke kandang banteng, menggantikan Tjahjo Kumolo yang diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri. Oleh Mega, Hasto dipercaya jadi Plt Sekretaris Jenderal, posisi yang ditinggalkan Tjahjo. Akbar pun kembali ke DPR. Oleh NasDem, Akbar, eks politisi Partai Hanura ini ditempatkan di Komisi III. Dan, setelah empat bulan berselang, pasca Jokowi dilantik, 'perang' pun meledak. Akbar, tiba-tiba 'menyerang' Luhut. 'Perang' dua sekondan ini bermula, dari pesan yang dikirimkan Akbar kepada Yanuar Nugroho, salah satu deputi di lembaga Staf Kepresidenan yang dipimpin Luhut.

Namun, entah siapa yang membocorkan, pesan itu merembes ke publik, setelah pemilik akun Twitter @yani_bertiana, mempostingnya di jejaring media sosial tersebut. Publik pun geger, sebab dalam pesan itu Akbar menyebut Luhut pernah mengajukan proposal tentang teknologi sedot data KPU, yang cukup dengan memarkirkan mobil di dekat gedung penyelenggara pemilihan tersebut. Sedot data KPU itu pun menjadi isu yang paling ramai dibicarakan dan diberitakan di banding isu lainnya yang ditulis Akbar dalam pesannya pada Yanuar.

Isu lainnya, Akbar mengkritik keras peran Luhut. Akbar menyebut, lembaga staf kepresidenan sebenarnya tak pernah masuk dalam bahasan di tim transisi. Namun memang, isu sedot data KPU sendiri yang lebih bergaung. Isu itu pun menggelinding bak bola salju, yang disambut gembira oleh para 'pengkritik' Jokowi. Luhut pun ramai-ramai didesak untuk jujur menjelaskan tentang teknologi sedot data KPU tersebut. Ini memang isu seksi, bahkan sensitif, karena terkait erat dengan keabsahan kemenangan Jokowi.

Lewat isu itu, kemenangan Jokowi mulai digugat. Syak wasangka pun menggeliat, kemenangan Jokowi mulai diragukan. Isu rekayasa data perolehan suara mencuat. Kubu Jokowi mulai dapat tudingan anyar, telah mengkotak-katik data KPU agar bisa menang dalam pemilihan.

Isu sedot data KPU pun tak terhindarkan mulai dikaitkan dengan kemenangan Jokowi. Akbar sendiri membenarkan telah mengirim pesan kepada Yanuar. Tapi terkait isu sedot data KPU, Akbar belum menjelaskan detil. Luhut sendiri menanggapi normatif, merasa heran apa motif Akbar menyerangnya. Namun yang pasti isu sedot data, sudah disambar media, yang lalu membewarakannya ke publik.
Panggung pun kembali tambah ramai. Isu sedot data, kian menambah gaduh ruang publik, yang sudah riuh dengan isu perpecahan Golkar, konflik KPK versus Polri, dan wacana remisi untuk koruptor. Namun yang pasti, cerita Akbar dan Luhut, dua sekondan yang sekarang saling berhadapan, hanyalah sebuah kisah yang lazim terjadi dalam dunia politik, bahwa tak ada kawan yang abadi, yang abadi hanya kepentingan.

Ini hanya sebuah kisah, dari kawan menjadi seteru. Dan dalam politik, itu adalah hal yang lumrah. Tapi yang pasti, cerita itu hanya membuat telinga publik makin berdenging. Entah, sampai kapan, telinga dan mata khalayak bakal adem ayem, tak dirusuhi oleh berbagai manuver yang ditabuh elit.(yn)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #akbar faisal  #luhut panjaitan  #seodt data kpu  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Tidak Ada Kerugian Negara Dalam Pemberian Izin Impor Gula 2015: Ilusi Kejagung

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Senin, 04 Nov 2024
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong telah menyalahgunakan wewenang atas pemberian izin impor Gula Kristal Mentah tahun 2015 kepada perusahaan swasta PT AP, sehingga merugikan keuangan ...
Opini

Paradoksnya Paradoks

Ketika Prabowo Subianto berbicara tentang pentingnya pemerintahan yang bersih dan tegaknya keadilan di Indonesia, semangatnya tampak membara. Gema suaranya seolah beresonansi dengan berbagai tokoh ...