Opini
Oleh ; Dr Iswandi Syahputra (Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) pada hari Selasa, 25 Sep 2018 - 10:57:33 WIB
Bagikan Berita ini :

Sepak Bola Yang Mematikan

68iswandi.jpg.jpg
Iswandi Syahputra (Sumber foto : Ist)

Saya sudah menonton video (maaf saya sebut dengan) pembantaian fans PERSIJA, Haringga oleh pendukung yang diduga berasal dari klub PERSIB. Saya tidak bisa bertahan lama, hanya kuat menontonnya 10 detik. Sangat biadab!!! Dengan alasan itu, saya tidak sebar video tersebut kemanapun.

Bagaimana menjelaskan fenomena ini?

Munro (2006) dalam bukunya _Sport Fan Culture & Brand Community_ yang saya kutip dalam buku saya Pemuja Sepak Bola(halaman .

27-31) menjelaskan ada 4 tipe khalayak sepak bola:

1). _Spectator,_ penonton sepak bola. Mereka orang netral yang suka sepak bola untuk hiburan tanpa fanatisme klub.

2). _Supporter,_ penonton sepak bola yang mendukung salah satu klub sepak bola.

3). _Followers,_ menonton dan mendukung klub sepak bola karena ikut-ikutan.

4). _Flaneurs,_ orang yang tidak memiliki tujuan pasti dalam menonton atau mendukung klub sepak bola.

Di luar 4 kelompok itu ada _fans club._ Mereka terkumpul dalam satu organisasi, punya struktur, memiliki aturan dan sistem relasi antar sesama member.

Kebiadaban penonton yang mengakibatkan Haringga meninggal lebih condong masuk kelompok _Flaneurs._ Kelompok ini dapat diidentifikasi sebagai urakan, maniak, ultra agresif, super emosional mudah terprovokasi.

Jika kelompok ini ada dan dibiarkan dalam kumpulan pendukung klub sepak bola, habis sudah masa depan sepak bola kita. Akan selalu muncul kerusuhan dan kebiadaban serupa pada masa yang akan datang.

Dimensi Politik Kematian Haringga

Sesaat setelah viralnya insiden ini, saya menunggu munculnya dua hal:

_Pertama,_ bagaimana respon Ketua PSSI Edy Rahmayadi yang juga Gubernur Sumatera Utara yang mulai naik daun terhadap insiden ini?.

_Kedua,_ bagaimana respon netizen di media sosial terhadap insiden ini?

Apa yang saya khawatirkan melampaui apa yang saya pikirkan. Sebagai peneliti dan penikmat percakapan di media sosial, dengan memasukkan variabel tertentu, mudah sekali menebak Eddy Rahmayadi bakal jadi sasaran tembak netizen di media sosial.

Mengapa?

Karena dia Ketua PSSI? Itu saja tidak cukup... karena secara politik Edy Rahmayadi adalah Gubernur yang didukung oleh koalisi Adil Makmur. Dugaan saya, satu kluster netizen saat peristiwa ini terjadi, pasti akan mempolitisasi ini dengan menyerang Edy Rahmayadi. Polanya selalu begitu untuk dua kluster netizen di media sosial.

Melampaui perkiraan saya...

Edy Rahmayadi memang 'diserang' netizen tapi argumen liar yang berkembang bikin saya merinding...

Ada opini yang berkembang bahwa kelompok biadab yang membantai Haringga adalah pentolan HTI garis keras hanya karena saat membantai sambil mengeluarkan lafaz religius.

Eh... dilalah almarhum Haringga dari jejak digitalnya di twitter merupakan _haters_ HRS dan fans berat Ahok. Benar tidaknya, _screenshot_ tersebut yang tersebar di dunia maya. Bisa ditebak kemana arah tudingan ini dituju. Ini akan melibatkan dua kluster besar netizen...

Dari perspektif krisis komunikasi, ini gejala awal bagi Edy Rahmayadi mendapat krisis komunikasi beruapa sentimen negatif. Saya berharap, Edy (dalam kapasitas Ketua PSSI) menggelar konperensi pers menjelaskan situasi, penanganan dan antisipasi keadaan.

_Elahdahlah..._ saat diwawancarai Aiman di Kompas TV, Edy Rahmayadi sedikit buat _blunder._ Agaknya Edy belum paham kondisi kebatinan publik bahwa saat ini dirinya lagi mendapat sorotan. Walau pertanyaan Aiman agak nakal dam tidak relevan, tapi tidak seharusnya Edy menjawab dengan _tone_ arogan.

Era saat ini, era baru dimana siapa saja, kapan saja, dimana saja dapat memberi komentar tentang apa saja. Insiden tersebut jadi amunisi satu kluster netizen menyerang Edy di media sosial.

Agaknya Pak Edy, dan siapa saja pejabat publik selain perlu dokter pribadi, staf pribadi memang perlu konsultan komunikasi pribadi.

Belajar dari Fans Eropa

Riset saya soal ini menghabiskan waktu hampir 2 tahun dan harus 2 kali kembali ke Eropa untuk menemukan data tambahan. Hasilnya muat dalam buku Pemuja Sepak Bola. Saya jelaskan, industri sepak bola di Eropa pada masa awal juga mengalami seperti yang kita alami saat ini.

Namun mereka relatif dapat menyelesaikan masalah ini dengan literasi bagi fans sepak bola. Ada semacam kurikulum untuk literasi bagi fans. Mulai dari membuat _chant, koreo_ hingga kerja sosial diajari pada semua member fans club.

Literasi tersebut melahirkan _grade_ anggota fans club. Misalnya fans senior Grade A, B dan C. Senior grade A ini suhu, jangan dilawan. Ini diperlukan untuk meredam fans pemula yang urakan, ultra agresif dan super emosional.

Pada praktiknya, karena semua fans klub dikelola dengan cara yang baik, kerusuhan dapat ditekan. Sesekali kerusuhan muncul, itu insiden dan biasanya lebih pada melibatkan emosi nasionalisme pada laga antar klub antar negara seperti UCL.

Untuk aktivitas tersebut, manajemen fans club memperoleh dana dari klub. Tapi pada saat bersama, mereka punya 'kewajiban' menonton dengan membayar menggunakan kartu berlangganan. Ini bisnis, ini industri harus saling menguntungkan.

Dampaknya, jika ada kerusuhan yang melibatkan fans, klub bisa didenda tinggi. Manajemen klub mau tidak mau harus berhubungan baik dengan manajemen fans. Manajemen fans, mau tidak mau harus bekerja keras 'menertibkan' membernya yang berpotensi anarkis. Lingkar kerja dalam relasi yang menguntungkan... Ingat, sepak bola adalah bisnis, sepak bola adalah industri.

Bagaiman kemudian menuntaskan kasus Haringga? Saya sarankan semua berfikir jernih dan proporsional dengan mempertimbangkan:

1). Beri penghormatan pada Harlingga dan santunan pada keluarganya.

2). Hukum pelaku dengan adil.

3). Beri sanksi pada PERSIB.

4). Pembinaan pada fans klub.

5). _Cooling down_ untuk semua jenis laga pada masa waktu tertentu.

6). Hentikan spekulasi dan kebencian di media sosial.

Sepak bola itu menggembirakan, bukan mematikan... (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #sepak-bola  #pssi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Tidak Ada Kerugian Negara Dalam Pemberian Izin Impor Gula 2015: Ilusi Kejagung

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Senin, 04 Nov 2024
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong telah menyalahgunakan wewenang atas pemberian izin impor Gula Kristal Mentah tahun 2015 kepada perusahaan swasta PT AP, sehingga merugikan keuangan ...
Opini

Paradoksnya Paradoks

Ketika Prabowo Subianto berbicara tentang pentingnya pemerintahan yang bersih dan tegaknya keadilan di Indonesia, semangatnya tampak membara. Gema suaranya seolah beresonansi dengan berbagai tokoh ...