Terhitung sejak September 2018 hingga Maret 2019, paslon Pilpres dan parpol pengusung plus pendukung mendapat kesempatan berkampanye. Sungguh, sebuah waktu yang panjang untuk 'menjual'gagasan.
Seharusnya, bahkan idealnya, masa kampanye memang untuk melempar gagasan. Masa kampanye adalah masa berlangsungnya kontes gagasan. Gagasan satu disambut oleh gagasan lain. Gagasan lain disusul oleh gagasan lainnya lagi. Begitu seterusya. Begitu idealnya.
Namun, mari lihat faktanya. Sudahkah kontes gagasan itu terjadi? Sepertinya belum. Hampir tiga bulan ini kontes gagasan itu belum terlihat dan terdengar.
Yang terjadi justru sebaliknya, hampir tiga bulan panggung kampanye penuh oleh politik narasi. Politik kata-kata. Yang menyedihkan, politik kata-kata itu justru membuka ruang untuk diksi-diksi sarkastik. Diksi, yang mohon maaf, hanya membangkitkan kekacauan psikologis bagi siapa saja yang mendengar dan membacanya.
Apa jadinya jika diksi-diksi itu terus mencuat hingga akhir masa kampanye? Entahlah.
Sambil membayangkan jawaban apa bakal terdengar, mari kita coba berpikir positif. Mari terus percaya bahwa rentang waktu empat bulan ke depan, akan muncul politik gagasan. Sekecil apapun, sesamar apapun, politik gagasan tetaplah politik gagasan. Mari pulua terus memelihara keyakinan, bahwa para elite politik kini sedang bergerak ke arah sana.
Ingat, Indonesia adalah negara besar. Hanya gagasan besar yang sanggup menjaga kebesarannya.(*)