Edi Rahmayadi mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI. Keputusan mengejutkan itu muncul di perhelatan Kongres Tahunan PSSI, di Badung, Bali, Minggu (20/1/2019).
Edi, yang juga Gubernur Sumatera Utara tersebut, secara sportif mengaku gagal mengurus organisasi induk sepak bola Tanah Air itu.
"Sudah dilarang mengatur skor, terjadi pengaturan skor. Ada perkelahian juga. Itu kan berarti saya gagal. Jangan sampai karena satu atau dua orang PSSI terganggu. Mari kita doakan pemimpin berikutnya lebih jaya," tutur Edy seperti mengemuka dalam pemberitaan media massa.
Keputusan Edi layak jadi perenungan bagi para pemimpin yang lain. Mundur sebagai pemimpin (apapun bentuk dan nama lembaganya) bukan hal tabu. Bahkan, boleh dibilang mulia dan bijaksana.
Tak hanya direnungi, sikap Edi juga layak jadi inspirasi. Mengapa layak? karena hingga kini, terdapat beberapa pemimpin yang enggan mundur ketika situasi lembaga atau institusi yang dipimpinnya mengharuskannya untuk mundur. Namun, dengan dalih ingin bertanggungjawab, mereka pun menolak mundur. Padahal, mundur juga bentuk pertanggungjawaban.
Budaya mundur, tampaknya harus diwabahkan ke seluruh lembaga dan institusi di segala lini. Ini penting, karena kepemimpinan itu soal kredibilitas. Jika sudah tidak kredibel, ya untuk apa bertahan di kursi pemimpin. Ini juga isyarat diperkukannya pemimpin pengganti. (*)