"Wa tilka"l ayyamu nudawiluha bainannaas".
Hari kejayaan itu dipergilirkan.Allah adalah pemilik kekuasaan yang memberi dan mencabut. Memuliakan dan menghinakan. Kekuatan apapun bisa runtuh, jangankan kekuasaan kecil, kekuasaan besar pun bisa ambruk. Gibbon pernah menulis "Decline an Fall of the Roman Empire" peradaban Romawi yang besar telah runtuh. Peradaban Islam pernah berjaya di dunia, tapi rontok juga. Kini "Clash of Civilization" pun terjadi. Kalah dan menang.
Kaitan Indonesia, kekuasaan pun jatuh bangun. Ada yang relatif lama seperti Soekarno dan Soeharto ada juga yang sebentar saja. Beberapa Presiden mengalami masa kepemimpinan satu periode bahkan ada yang tak selesai satu periode pun seperti Gus Dur. Begitulah pergilirannya.
Kini Jokowi yang melakukan "lompatan katak" dari Walikota, Gubernur hingga Presiden menghadapi situasi kritis untuk lanjutkan kepemimpinannya. Tantangan cukup berat bukan karena lawan yang hebat tapi lebih pada diri yang memang lemah. Dengan kata lain Jokowi memang wajar kalah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkannya antara lain:
Pertama, gagal memenuhi janji saat kampanye 2014 baik soal BBM, lapangan kerja, penuntasan kasus BLBI, pembatasan Bank asing, 50 rb Puskesmas, Swa Sembada Pangan dan lain-lain. Tercatat 66 janji tak terealisasi. Jokowi jadinya tercitrakan Presiden pembohong.
Kedua, gagal melanjutkan "kesuksesan" pencitraan. Pengulangan dengan kondisi yang sudah terbaca ketidakmampuan dan keburukan kinerjanya oleh rakyat adalah sia-sia. Kalau tidak bisa disebut menggelikan ya menyedihkan. Politik kepalsuan sama dengan melecehkan harga diri publik.
Ketiga, tidak mampu membangun sentimen keagamaan yang positif. Memain-mainkan ibadah di tengah kelemahan relijiusitas membuat nilai buruk. Kesan memusuhi kekuatan umat sangat kentara. Mulai pembubaran, penangkapan aktivis, isu radikal dan intoleran, hingga stigmatisasi anti Pancasila.Pasangan Ma"ruf Amin MUI tak mampu mengubah kesan. Bahkan umat Islam semakin terlecehkan dengan performance Ulama.
Keempat, modal utama hanya pembangunan infra struktur dan "jualan kartu". Imbangan pembangunan adalah hutang yang besar. Jalan tol dibangun untuk dijual. Tarif pun mahal. Sementara kartu yang banyak membuat "jelimet" dan boros. Kartu "gaji pengangguran" dekat pada hoax. Slogan kerja kerja tanpa kejelasan pekerjaan. Bisnis racun kalajengking. Ada ada saja.
Kelima, melakukan penggalangan birokrasi, aparat dan pengusaha sehingga terkesan Jokowi adalah Negara. Prabowo melawan Negara. Rakyat melihat ketidakadilan karenanya menjadi berpihak dan membantu. Ditambah dengan "politik sandera" sehingga mencolok terjadi dukungan "tanpa reserve" yang aneh.
Keenam, ruang kecurangan semakin sempit. Setelah bongkar dan menpermasalahkan ruang yang mungkin dibuka seperti mark up DPT, KTP ganda, kotak suara kardus, hingga kecurangan angka komputer. Desakan audit komputer KPU maupun keberadaan pemantau manca negara sangatlah strategis. Menakutkan
Nampaknya Jokowi dan lingkaran elit sekitar mulai menyadari kekalahan yang bisa telak bukan tipis lagi. Karenanya para penembak seperti Wiranto; Luhut, dan Hendro menjadi membabi buta dalam menembak lawan. Tapi yaitu menjadi upaya sia sia bahkan bunuh diri.
Ujung debat kemarin menunjukkan rasa frustrasi melalui closing statement "rantai sepeda putus". Hari yang semakin dekat sangat mendebarkan. Semoga rantai sepeda tak jadi putu agar bisa Prabowo mengantarkan pulang Jokowi ke Solo. Bertemu dengan sanak saudara. (*)
1 April 2019
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #jokowi #pilpres-2019