JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Dalam kondisi pandemi Covid – 19 yang dialami Indonesia saat ini ternyata juga menghantam ekonomi nasional termasuk sektor industri manufaktur, industri dan produk tekstil, dan juga ekspor impor industri. Hal ini mengakibatkan semakin sulit untuk mengatasi deindustrialisasi dini yang sudah terjadi sejak lebih 15 tahun terakhir.
Menurut Mohammad Faisal Direktur Eksekutif CORE Indonesia dalam acara CORE media Discussion ia mengatakan bahwa tingkat utilisasi industri manufaktur turun drastis saat pandemi.
“Ya, tingkat utilisasi manufaktur secara umum turun drastis dari 75% saat sebelum pandemi sekarang menjadi 40% saat pandemi. Kemudian setelah Q2-2020, utilisasi sektor industri manufaktur sedikit meningkat tapi baru di sekitar 50%,” ungkap Faisal, Rabu (20/01/2021).
Kemudian masalah utama industri tekstil dan produk tekstil (TPT) semakin berkurangnya pangsa pasar domestik bagi produk dalam negeri karena dibanjiri oleh produk impor. Tantangan saat pandemi bagi TPT juga ikut melemah dan menurun.
Ina Primiana sebagai Ekonom Senior CORE Indonesia juga mengatakan bahwa kontribusi sektor manufaktur Indonesia terhadap dunia kini berada di peringkat ke – 5. Adapun kendala industri manufaktur yakni daya saing seperti kebijakan yang memudahkan impor, kebijakan yang kurang tegas, tidak adanya jaminan pasar, dan mahalnya biaya logistik dan energi.
Ina mengatakan bahwa RPP akan mampu mendorong reindustrialisasi nantinya dengan beberapa hal yang harus diatur.
“RPP harus mengatur mengurangi ketergantungan, membantu industri dalam negeri, kemudahan dalam insentif, jaminan pasar, memperbaiki kebijakan impor, perjanjian kerjasama perdagangan, memperbaiki supporting system, menunjukkan koordinasi, dan yang terakhir adalah mendorong penerapan industri 4.0,” ungkap Ina Primiana.
Dampak Terhadap Tekstil
Jemmy Kartiwa Sastraatmadja Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang juga ikut dalam acara diskusi tersebut mengatakan terlalu mudahnya perizinan impor tekstil, membuat banyak pihak memanfaatkan situasi tersebut.
”Harusnya kuota impor harus benar-benar untuk yang membutuhkan saja, karena terlalu mudah dalam hal perizinan dan dalam pengurusan data-data, maka banyak yang mengaku sebagai industri padahal bukan. Namun nanti akan saya usulkan pada pemerintah agar diperketat mengenai hal ini,” ungkap Jemmy.
Kebijakan yang tepat untuk industri TPT adalah kebijakan pengendalian impor melalui kewajiban penggunaan Perizinan Impor (PI) untuk impor produk TPT melalui pusat logistik Berikat, Gudang Berikat, dan Free Trade Zone. Selain itu menyamakan playing field melalui pemberian fasilitas dan intensif bagi industri TPT sebagai salah satu industri prioritas. Dan juga meningkatkan investasi pada industri bahan baku, terutama industri petrokimia Paraxylene (PX), Purified Terephthalic Acid (PTA) dan Monoethylene Glycol (MEG).
Industri Makanan
Industri makanan dan minuman memiliki lima pilar yang menciptakan makanan dan minuman yang tangguh, yakni bahan baku berkelanjutan, kebijakan dan regulasi, inovasi dan teknologi, human capital, dan infrastruktur dan logistik.
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) bersama asosiasi sektoral turut berperan dan berpartisipasi aktif memberi masukan untuk penyusunan RPP Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada sektor perdagangan dan sektor perindustrian, baik yang dikoordinir oleh K/L secara langsung maupun melalui koordinasi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
Rachmat Hidayat Ketua Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga GAPMMI dalam acara tersebut juga mengatakan bahwa dirinya mempunyai masukan untuk RPP pelaksanaan UU Cipta Kerja sektor perindustrian.
“Masukan untuk RPP sektor perindustrian adalah kemudahan dalam penanaman modal, jaminan pasokan bahan baku, kemudahan pengadaan bahan baku, jaminan pasokan energi yang kompetitif, kemudahan pengadaan peralatan atau permesinan yang efisien, serta fasilitas bagi penanaman modal,” ungkap Rachmat.