JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Pemerintah memberlakukan aturan pajak pulsa kartu perdana, token listrik, dan voucher. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 dan berlaku mulai 1 Februari 2021.
Penerbitan aturan pulsa kena pajak dinilai kurang tepat mengingat kondisi ekonomi nasional masih terdampak pandemi COVID-19. Implementasi aturan ini juga terbilang cepat yaitu pada 1 Februari 2021 setelah diundangkan pada 22 Januari 2021.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menilai seharusnya pemerintah melaksanakan sosialisasi terlebih dahulu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Serta Pajak Penghasilan (PPh) atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan Dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucher.
Pada proses sosialisasi pun pemerintah melibatkan seluruh stakeholder yang berada di sektor telekomunikasi. "Ini kan ekonominya belum pulih, ekonominya belum mantap," kata Tauhid, Sabtu (30/1/2021).
Tauhid menyebut, saat ini sektor industri informasi dan komunikasi (infokom) menjadi salah satu yang mengalami pertumbuhan cukup tinggi di tengah pandemi COVID-19. Dengan tingginya pertumbuhan ini, kata Tauhid jangan sampai dianggap sebagai aji mumpung melaksanakan kebijakan pulsa kena pajak.
"Kan masalahnya bisnis telekomunikasi ini tumbuhnya luar biasa, pemerintah melihat ini potensi yang besar untuk dikenakan lagi, sehingga ini istilahnya mau mancing ya ini tempatnya ikan-ikan besar. Jadi ya paling mudah untuk menjadi sumber penerimaan baru, ini kan ekstensifikasi baru," jelasnya.
Pengamat politik Rocky Gerung menanggapi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait menarik pajak atas pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucher.
Menurut Rocky Gerung, hal itu menunjukkan bahwa pemerintah tengah panik, lantaran tidak bisa lagi menarik pajak dari pihak besar.
Hal itu disampaikan Rocky Gerung di kanal Youtube Rocky Gerung Official pada Sabtu, 30 Januari 2021. “Itu artinya pemerintah yang lagi panik, dia ga bisa majakin orang gede,” ujar Rocky Gerung, dikutip dari kanal Youtube Rocky Gerung Official.
“Karena dari awal tax amnesty gagal, lalu revenue dari komoditas ga bisa masuk karena harga komoditas pola tritasnya tinggi sekali,” sambungnya.
Aturan Sebenarnya
Aturan tentang pajak pulsa tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 dan berlaku mulai 1 Februari mendatang.
Dalam PMK Pasal 3, disebutkan bahwa ada beberapa jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu:
1). Jasa penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran terkait dengan distribusi token oleh penyelenggara distribusi.
2). Jasa pemasaran dengan media voucher oleh penyelenggara voucher.
3). Jasa penyelenggaraan layanan transaksi pembayaran terkait dengan distribusi voucher oleh penyelenggara voucher dan penyelenggara distribusi.
4). Jasa penyelenggaraan program loyalitas dan penghargaan pelanggan (consumer loyalty/reward program) oleh penyelenggara voucher.
Sementara itu, Pasal 4 ayat (1) menjelaskan bahwa PPN juga dikenakan atas penyerahan barang kena pajak, berupa pulsa dan kartu perdana oleh beberapa pihak berikut:
1). Pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi kepada penyelenggara distribusi tingkat pertama dan/atau pelanggan telekomunikasi.
2). Penyelenggara distribusi tingkat pertama kepada penyelenggara distribusi tingkat kedua dan/atau pelanggan telekomunikasi.
3). Penyelenggara distribusi tingkat kedua kepada pelanggan telekomunikasi melalui penyelenggara distribusi tingkat selanjutnya atau pelanggan telekomunikasi secara langsung.
4). Penyelenggara distribusi tingkat selanjutnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan peraturan soal pajak pulsa bukan hal baru. "Ketentuan tersebut tidak berpengaruh terhadap harga pulsa /kartu perdana, token listrik dan voucher," katanya.
Ia menyatakan selama ini PPN dan PPh atas pulsa/kartu perdana, token listrik, dan voucher sudah berjalan. jadi tidak ada pungutan pajak baru untuk pulsa, token listrik dan voucher.