JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Polemik tentang perlunya hukuman mati bagi koruptor terus menggelinding. Apalagi di masa bencana pandemi, kasus korupsi tidak dapat ditoleransi. Karena itu muncul pendapat agar koruptor dihukum mati.
Ramai diberitakan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkum HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menilai mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara layak dituntut dengan hukuman mati. Sebab, kedua mantan Menteri itu melakukan korupsi di saat pandemi COVID-19.
Hal itu disampaikan Omar dalam diskusi online yang digelar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan tema "Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi", Selasa (16/2).
Awalnya, Omar bicara soal modifikasi hukum acara pidana di masa pandemi COVID-19. Ia mengatakan tindak pidana yang dilakukan di saat pandemi COVID-19 harus dimaknai sebagai hal memberatkan.
"Dalam konteks penegakan hukum pidana di situ ada modifikasi hukum acara pidana. Yang pertama adalah secara materiil kasus-kasus pidana yang ada tidak menimbulkan persoalan yang berarti dalam penegakan hukum artinya secara materiil tidak menimbulkan persoalan tidak ada kendala di situ, justru sebaliknya kejahatan yang dilakukan di era pandemi seperti ini harus dimaknai sebagai hal yang memberatkan," ujar Omar.
Kemudian, Omar menyinggung soal tindak pidana korupsi yang dilakukan Edhy Prabowo dan Juliari Batubara. Ia menjelaskan, Edhy dan Juliari melakukan korupsi di saat keadaan darurat yakni pandemi COVID-19. Untuk itu, ia menilai kedua mantan menteri itu layak dituntut ancaman hukuman mati.
"Kedua kasus korupsi yang terjadi pada era pandemi, seperti misalnya kita ketahui bersama misalnya bahwa dua mantan menteri terkena OTT KPK pada akhir tahun 2020. Yang satu pada bulan akhir November, yang satu pada 4 Desember. Bagi saya kedua mantan menteri ini melakukan perbuatan korupsi yang kemudian kena OTT KPK, bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi, yang mana pemberatannya sampai pidana mati," ujar Omar.
Menanggapi pernyataan Wamen Omar, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dapat dijerat hukuman mati. Namun KPK perlu melihat lagi terkait urgensi pemberian hukuman tersebut bagi Juliari. "Tentu akan kami lihat sejauh mana urgensinya pemberian hukuman mati. (Hukuman mati) Itu dimungkinkan, tapi tidak semua perkara korupsi (harus dijatuhi hukuman mati)," kata Marwata saat ditemui wartawan di Gedhong Pracimosono, Kompleks Kantor Gubernur DIY, Kemantren Danurejan, Kota Yogyakarta, Kamis (18/2/2021).
Marwata menilai hukuman mati memang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi khususnya di pasal 2. Di mana pasal tersebut menyebutkan jika hukuman mati bisa dijatuhkan jika korupsi dilakukan dalam keadaan bencana maupun dalam keadaan perang.
"Korupsi yang betul-betul menyangkut korupsi dana penanggulangan bencana, dana menyangkut pengadaan senjata saat berperang. Itu yang dimungkinkan (dijatuhi hukuman mati kepada koruptor)," ucapnya.
Pelaksana tugas juru bicara KPK Ali Fikri mengakui hukuman mati diatur Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sebelum menggunakan pasal itu, penyidik perlu membuktikan Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor.
"Bukan hanya soal karena terbuktinya unsur ketentuan "keadaan tertentu" saja untuk menuntut hukuman mati namun tentu seluruh unsur Pasal 2 Ayat 1 juga harus terpenuhi," kata Ali melalui keterangan tertulis, Rabu, 17 Februari 2021.
KPK memahami keinginan masyarakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi tersangka kasus dugaan korupsi bansos sebagai tindakan tegas aparat hukum. Namun, Ali mengatakan kasus ini masih masuk kategori suap.
Pengacara Menolak
Sementara pengacara mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, Maqdir Ismail, tidak setuju dengan penggunaan hukuman mati kepada pelaku korupsi. Hukuman itu dianggap berlebihan.
"Tidak ada keadaan yang dapat digunakan untuk menghukum atau menuntut Pak Juliari Batubara dengan hukuman atau tuntutan hukuman mati," kata Maqdir melalui keterangan tertulis, Rabu, 17 Februari 2021.
Menurut dia, penggunaan hukuman mati dalam kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial masuk dalam kategori overcriminalization (kriminalisasi berlebihan). Pelaku rasuah dalam kasus itu dinilai masih berhak bertobat.
ICW: Pemiskinan Lebih Tepat
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penerapan hukuman mati bagi koruptor bukan solusi memberantas korupsi. Hukuman mati dinilai tidak menimbulkan efek jera.
"Praktik itu bertentangan dengan hak asasi manusia," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulis, Rabu, 15 Februari 2021.
Kurnia menyebut efek jera untuk koruptor adalah hukuman penjara seumur hidup. Serta dibarengi upaya pengembalian kerugian negara.
"Lebih tepat jika dikenakan kombinasi hukuman berupa pemidanaan penjara maksimal serta diikuti pemiskinan koruptor, pengenaan uang pengganti untuk memulihkan kerugian keuangan negara, atau menjerat pelaku dengan Undang-Undang Anti Pencucian Uang," ujar Kurnia.
Dia menyarankan koruptor tidak dihukum mati. Pasalnya, belum ada bukti hukuman mati untuk pelaku rasuah berhasil menurunkan tindakan korupsi.
"Sampai saat ini, belum ditemukan adanya korelasi konkret pengenaan hukuman mati dengan menurunnya jumlah perkara korupsi di suatu negara," tutur Kurnia.
ICW mengingatkan KPK tidak sembarangan menggunakan hukuman mati untuk menentukan nasib seseorang. ICW menyarankan Lembaga Antikorupsi mencari pasal lain yang bisa mengembalikan kerugian negara dari tindakan rasuah ketimbang menghukum mati koruptor.
"Misalnya, untuk perkara yang menjerat Juliari (mantan Mensos Juliari P Batubara), alih-alih mengenakan pasal terkait kerugian negara, sampai saat ini saja KPK seperti enggan atau takut untuk memproses atau memanggil beberapa orang yang sebenarnya berpotensi kuat menjadi saksi," tegas Kurnia.