Opini
Oleh Ronny P. Sasmita (Pemerhati Ekonomi Politik, Analis Ekonomi Global di Financeroll Indonesia, Jakarta) pada hari Selasa, 09 Jun 2015 - 09:16:15 WIB
Bagikan Berita ini :

Pancasila dan Dialektika Demokrasi Kontemporer (2)

81unnamed_1433806951361.jpg
Garuda Pancasila (Sumber foto : Istimewa)

Berbeda tipis dengan ideological stance Partai Demokrat, kubu konservatif juga percaya kepada mekanisme pasar yang super liberal. Tapi menurut kubu Republican, berbagai ekses negatif yang muncul bukan hanya disisir dari sisi redistribusi (terutama soal pendapatan/income), sementara disisi lain para pemilik modal tidak ikut menanggung beban apa-apa, tapi juga soal porsi tanggung jawab yang sama-sama harus diseimbangkan.

Pajak kekayaan yang tinggi harus dikenakan pada para pemilik modal dan para penghuni kelas atas. Silahkan pasar bergerak dinamis sebagaimana aturan kapitalisme, namun pasar harus juga menanggung beban pajak yang besar.

Namun lebih jauh dari itu, Joseph Stiglitz nampaknya bergerak lebih progresif dari ideological stance kedua partai tersebut. Ketimpangan dan disparitas dalam berbagai aspek bukan sekedar urusan distribusi dan redistribusi atau soal beban pajak tinggi yang harus dikenakan pada kelas tertentu, tapi juga soal fundamental ekonomi dari sistem kapitalistik itu sendiri yang mengidap beberapa penyakit akut yang akhirnya secara terus-menerus memproduksi ketimpangan, kemiskinan, dan aneka pola disparitas di dalam masyarakat.

Dengan membiarkan pasar bergerak dalam logika “self regulating market”, maka pemerintah juga telah melebarkan kesempatan (opportunity) bagi kelompok-kelompok masyarakat kaya untuk terus memperkaya diri. Dan yang lebih menyakitkan, kata Stiglitz, opportunity itu juga melebar menjadi kesempatan yang digunakan untuk mengeksploitasi kekayaan dari kelompok masyarakat menengah ke bawah.

Hal ini terjadi karena menurunnya produktifitas modal dan berkembangnya model ekonomi “rent seeking” atau ekonomi rente dimana modal-modal menginvasi dunia politik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah demi keuntungan segelintir pemilik modal sehingga mengalihkan banyak anggaran negara ke sektor-sektor yang justru tidak menguntungkan masyarakat.

Dan yang dimaksud oleh Stiglitz dengan penurunan produktifitas modal (kekayaan/wealt) adalah bahwa disatu sisi pihak pemilik modal mengalami penumpukan (akumulasi) kekayaan, tapi disisi lain kekayaan itu ternyata tidak ditempatkan pada sektor ekonomi produktif yang seharusnya bisa menciptakan “trickle down effect” pada masyarakat kelas menengah ke bawah.

Mereka lebih memilih untuk menempatkan modal yang terus berakumulasi tersebut ke dalam sektor finansial (perbankan, ekuitas, obligasi, surat utang, dll) agar mendapatkan imbal hasil dan bunga (rent). Begitulah orang kaya kontemporer melipatkangandakan kekayaannya menurut Joseph Stiglitz.

Disisi lain, peningkatan akumulasi kekayaan di tangan beberapa orang ini juga melahirkan daya tawar politik tersendiri yang membuat mereka benar-benar mempunyai pengaruh yang besar terhadap pengambilan keputusan politik di level pemerintahan. Kebijakan pemerintah akhirnya disetir untuk mengamankan penumpukan kekayaan para pemilik modal dan terus-menerus mereproduksi peluang-peluang untuk memperkaya diri, tanpa pertimbangan moral apakah proses penumpukan itu akan berpengaruh positif terhadap masyarakat banyak atau tidak.(bersambung)

TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pancasila  #roni p sasmita  #liberal  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...