Zoom
Oleh Rihad pada hari Rabu, 09 Jun 2021 - 22:01:08 WIB
Bagikan Berita ini :

Kebijakan Work From Bali Jadi Pertolongan Pertama Industri Wisata, Apakah Efektif?

tscom_news_photo_1623250868.jpg
Work from Bali (Sumber foto : ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Meski dikritik, kebijakan work from Bali (WFB) untuk aparatur sipil negara (ASN) tetap akan dijalankan. Rencananya, WFB dilakukan secara bertahap mulai kuartal ketiga atau Juli 2021. Cara itu diyakini bisa mempercepat pemulihan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di Bali.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengungkapkan, kebijakan WFB yang dicetuskan pemerintah berlandasan data-data yang komprehensif. Kemenparekraf, misalnya, melakukan WFB dengan beberapa staf, termasuk dirinya, pada Januari 2021. Jumlah kunjungan ke Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada periode itu mencapai 2.000–2.500 kunjungan.

”Kami bergerak dengan data. Wisatawan Nusantara yang datang ke I Gusti Ngurah Rai pada Januari 2.500 kunjungan. Dan, per hari ini, kunjungan ke Bali meningkat tiga kali lipat menjadi 7.000–7.500,” jelas Sandi.

Pada kuartal pertama 2021, Bali masih minus 9,8 persen dari pertumbuhan ekonomi nasional yang sudah membaik. Bali masih terkontraksi terlalu dalam. ”Kebijakan ini terus kita persiapkan di kuartal ketiga. Akan kita luncurkan secara bertahap dimulai dengan kementerian dan lembaga (K/L),” lanjut Sandi.

Apa itu Work From Bali?

Work From Bali adalah program dari pemerintah yang mengajak masyarakat untuk kerja dari Bali. Saat ini, lokasi yang dipilih untuk WFB adalah Kawasan Nusa Dua.

Nusa Dua merupakan kawasan yang dikelola perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni Indonesian Tourism Development Corporation (ITDC).

Program WFB diluncurkan oleh pemerintah Indonesia untuk membantu sektor pariwisata Pulau Dewata yang terdampak pandemi Covid-19

Kepala Biro Komunikasi Kemenparekraf Vinsensius Jemadu mengatakan, kemungkinan hanya 25 persen saja dari setiap kementerian yang diizinkan bekerja dari Bali.

“Katakanlah 25 persen setiap kuota dari kementerian. Saya kira bisa sangat menolong occupancy rate selama di Bali, sehingga bisa mendorong perekonomian di Bali," katanya.

Tak Efektif

Program Work From Bali diperkirakan tidak terlalu efektif membantu okupansi hotel di Pulau Dewata untuk meningkatkan pemulihan ekonomi di tengah pandemi COVID-19. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengungkapkan alasannya adalah potensi peningkatan okupansi hotel dari program Work From Bali bagi para aparatur sipil negara (ASN) tidak cukup kuat untuk membantu keterisian kamar hotel guna menopang pendapatan agar bisa tetap bertahan di masa pandemi.

Dia menyebut biasanya keterisian kamar hotel di Bali pada waktu sebelum pandemi didominasi oleh wisatawan mancanegara hingga 70 persen, sementara wisatawan lokal 30 persen. Jika dirata-rata keterisian hotel sebanyak 60 persen, berarti kontribusi okupansi hotel dari wisatawan lokal sebagaimana diharapkan dari program Work From Bali hanya mencapai 20 persen.

"Okupansi 20 persen ini bukan angka yang bisa membantu kekuatan, tidak terlalu efektif untuk membantu kekuatan daripada daya tahan. Hotel itu kalau bicara okupansi itu paling tidak sekitar 45 persen ke atas, kalau 20 persen masih terlalu jauh," kata Maulana.

Ditambah lagi saat ini pemerintah juga akan menyelenggarakan program serupa dari destinasi wisata lain seperti Work From Yogyakarta dan Work From Lombok yang dinilai akan membuat program tidak terfokus pada satu destinasi. Secara otomatis, orang yang bekerja dari destinasi wisata tersebut akan semakin sedikit dan makin tidak efektif karena potensi pendapatan yang makin kecil.

Maulana menegaskan bahwa PHRI bukan mengkritik program pemerintah tersebut, namun hanya menyatakan kegiatan itu dinilai tidak terlalu efektif jika diperhitungkan secara sistematis berdasarkan data yang ada.

"Bukan tidak bagus ya, tentu bagus programnya. Tapi kita kalau ditanya efektif atau tidak, tidak efektif kalau bandingkan dengan data," kata Maulana.

Maulana menyarankan alangkah lebih baik apabila pemerintah melonggarkan kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat.

Dia menilai bahwa matinya industri pariwisata di Indonesia, termasuk yang berdampak pada perhotelan, terkait kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat.

tag: #pariwisata  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Zoom Lainnya
Zoom

Mengapa Jual Beli Jabatan Merupakan Modus Korupsi yang Populer?

Oleh Wiranto
pada hari Kamis, 06 Jan 2022
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap Walikota Bekasi Rahmat Effendi, pada Rabu (5/1/2022). KPK mengamankan 12 orang termasuk Wali Kota Bekasi Rahmat ...
Zoom

Anies dan Ridwan Kamil Akan Digugat Apindo, Ini Alasannya

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kini sedang berhadap-hadapan dengan pengusaha. Anies vs pengusaha ini terkait dengan keputusan Anies yang mengubah kenaikan UMP dari ...