Hubungan bilateral Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRC) terus menjadi topik hangat yang mengundang perdebatan luas. Sejak ditandatanganinya 23 Nota Kesepahaman (MoU) antara kedua negara di KTT Belt and Road Initiative (BRI) Forum Kedua pada April 2019, ada kekhawatiran yang berkembang tentang pengaruh RRC terhadap kedaulatan Indonesia.
Memahami Strategi RRC di Indonesia: Lebensraum dan Frontier
Lahirnya sejumlah kebijakan strategis nasional, termasuk Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) Nomor 3 Tahun 2022 dan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) Nomor 2 Tahun 2024, telah memunculkan tuduhan bahwa kebijakan ini sejatinya dirancang untuk mendukung agenda ekspansi Tiongkok di Indonesia. Dalam perspektif geopolitik, RRC diduga menggunakan strategi lebensraum—perluasan wilayah dengan menganeksasi negara lain, serta frontier, yakni penguasaan tanah rakyat pribumi untuk hunian pendatang baru etnis Tionghoa.
Proyek Strategis Nasional (PSN) menjadi salah satu instrumen utama dalam mengimplementasikan strategi ini. Salah satu contoh adalah pembangunan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) yang dinilai sebagai langkah awal penguasaan pantai-pantai strategis di Nusantara.
Konteks Aglomerasi Jakarta: Sebuah Ancaman atau Peluang?
Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur membawa konsekuensi besar bagi Jakarta dan wilayah sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur). Dalam UU DKJ Pasal 55 ayat 3, disebutkan bahwa Dewan Kawasan Aglomerasi akan dipimpin oleh Wakil Presiden, menciptakan struktur administratif baru yang menimbulkan pertanyaan tentang independensi dan kontrol atas wilayah strategis ini.
Jika benar bahwa kebijakan ini dirancang untuk mengakomodasi kepentingan taipan oligarki dan RRC, maka Indonesia menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya.
Peran Oligarki dalam Kebijakan Nasional
Ungkapan "Mulut saya adalah undang-undang" yang dikaitkan dengan pengusaha besar Aguan dan pernyataan kontroversial lainnya menjadi simbol dominasi taipan dalam proses legislasi dan kebijakan publik. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang lahir tidak selalu mengutamakan kepentingan rakyat, melainkan lebih cenderung melayani kepentingan oligarki.
Apa yang Harus Dilakukan?
Masyarakat Indonesia tidak boleh hanya fokus pada isu-isu yang bersifat parsial, seperti sengketa perbatasan laut. Perlawanan terhadap ekspansi penguasaan tanah dan sumber daya oleh pihak asing melalui pembangunan kawasan seperti PIK menjadi agenda yang lebih mendesak.
Kesimpulan
Jika kebijakan ini terus berjalan tanpa koreksi, masa depan Indonesia sebagai negara berdaulat akan berada dalam ancaman besar. Pemerintah harus transparan dalam menjelaskan manfaat dan risiko dari setiap kebijakan strategis nasional yang melibatkan pihak asing, terutama RRC. Di sisi lain, masyarakat harus lebih kritis dan aktif mengawasi jalannya pemerintahan demi memastikan bahwa kedaulatan negara tetap menjadi prioritas utama.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #