Jakarta – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) kembali menjadi sorotan setelah Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengungkap temuan 435 bidang tanah bersertifikat yang berada di wilayah laut Bekasi. Temuan ini mencakup Desa Segara Jaya, Kecamatan Taruma Jaya, dan Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan. Dugaan penerbitan sertifikat yang tidak sesuai prosedur ini kini tengah dalam tahap investigasi oleh Inspektorat Jenderal ATR/BPN.
Penerbitan SHM dan SHGB di Laut: Sebuah Kejanggalan
Kasus ini bermula dari penerbitan 89 Sertifikat Hak Milik (SHM) pada tahun 2021 kepada 67 orang dengan total luas 11.263 hektare. Awalnya, lahan yang bersertifikat tersebut didaftarkan sebagai tanah darat perkampungan. Namun, pada Juli 2022, terjadi perubahan data pendaftaran tanah yang secara tiba-tiba mencakup area laut tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya.
Menteri Nusron Wahid dalam rapat kerja dengan DPR RI Komisi II menegaskan bahwa kasus ini merupakan ulah oknum di internal Kementerian ATR/BPN. Ia berjanji akan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat serta memastikan proses investigasi berjalan transparan.
“Saya pastikan tidak ada ruang bagi mafia tanah di kementerian ini. Jika terbukti ada keterlibatan oknum, mereka akan diproses sesuai hukum yang berlaku,” tegas Nusron.
Dampak dan Ancaman di Balik Kasus Ini
Kasus sertifikasi lahan di ruang laut ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan serius:
1. Konflik Kepemilikan Lahan – Sertifikasi ilegal dapat memicu sengketa antara masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta yang merasa memiliki hak atas lahan tersebut.
2. Kerugian Negara – Jika sertifikat ini digunakan untuk transaksi bisnis atau perbankan, bisa terjadi manipulasi aset yang merugikan keuangan negara.
3. Preseden Buruk bagi Tata Kelola Pertanahan – Jika tidak ditindak tegas, kasus ini bisa menjadi celah bagi mafia tanah untuk terus melakukan praktik serupa di berbagai wilayah Indonesia.
Tantangan Nusron Wahid: Reformasi atau Jalan di Tempat?
Sebagai menteri yang baru menjabat, Nusron Wahid menghadapi tantangan besar untuk mereformasi sistem pertanahan yang sarat masalah. Ia tidak hanya dituntut untuk menindak pelaku penyimpangan, tetapi juga membangun sistem pengawasan yang lebih ketat agar kasus serupa tidak terulang.
Agar langkahnya efektif, Nusron harus:
Cekatan dan Terampil Mengoptimalkan Staf serta Bawahannya – Meningkatkan kompetensi pegawai serta memperbaiki sistem pendaftaran tanah agar lebih akurat dan transparan.
Membangun Komunikasi dan Informasi yang Optimal – Mengajak publik berpartisipasi dalam pengawasan dengan membuka kanal pelaporan yang efektif.
Mengambil Tindakan Hukum yang Tegas – Tidak cukup hanya dengan mencopot oknum yang terlibat, tetapi juga membawa kasus ini ke ranah hukum untuk memberi efek jera.
Selain itu, Nusron juga mengungkap bahwa saat ini terdapat 6,4 juta hektare tanah bersertifikat di Indonesia yang tidak memiliki peta lahan. Ini menunjukkan bahwa persoalan pertanahan di Indonesia jauh lebih kompleks dan membutuhkan reformasi menyeluruh.
Menuntaskan Tugas sebagai Bukti Kesungguhan dalam Mengelola Arahan Presiden Prabowo
Sebagai bagian dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Nusron Wahid dituntut untuk menuntaskan tugasnya secara tuntas dan profesional. Penegakan hukum terhadap mafia tanah menjadi salah satu prioritas utama yang sejalan dengan visi pemerintahan Prabowo dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
Menjalankan arahan Presiden, baik secara lisan maupun tertulis, menjadi bukti nyata bahwa Nusron Wahid benar-benar serius dalam memberantas penyimpangan di sektor pertanahan. Reformasi birokrasi di kementeriannya tidak boleh sekadar retorika, tetapi harus diwujudkan dengan tindakan konkret yang bisa dirasakan oleh masyarakat.
Kesimpulan: Ujian bagi Transparansi Pemerintah
Kasus sertifikat di laut Bekasi adalah ujian bagi komitmen pemerintah dalam memberantas praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme di sektor pertanahan. Nusron Wahid telah menunjukkan langkah awal dengan mengungkap masalah ini ke publik dan memulai investigasi. Namun, publik akan menilai bukan dari pernyataan semata, melainkan dari tindakan konkret yang diambil.
Jika Nusron gagal menangani kasus ini dengan transparan dan tegas, kredibilitasnya sebagai menteri ATR/BPN akan dipertanyakan. Sebaliknya, jika ia berhasil membersihkan kementeriannya dari mafia tanah dan membangun sistem pertanahan yang lebih transparan, maka ini bisa menjadi warisan besar dalam reformasi agraria di Indonesia.
Kini, semua mata tertuju pada Nusron Wahid. Apakah ia akan menjadi menteri yang membawa perubahan, atau justru terjebak dalam pola lama yang penuh kompromi?
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #