Pendahuluan
Wacana penghematan anggaran yang kembali digaungkan pemerintah kerap dikaitkan dengan kebijakan austerity atau pengetatan fiskal. Dalam sejarah ekonomi global, kebijakan semacam ini sering kali disarankan oleh lembaga seperti IMF dan Bank Dunia untuk mengendalikan defisit anggaran serta menjaga stabilitas keuangan negara. Namun, dalam konteks Indonesia, seruan penghematan justru menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah ini langkah strategis atau sekadar indikasi krisis yang lebih dalam?
Penghematan dan Stagnasi Penerimaan Negara
Salah satu persoalan utama dalam ekonomi Indonesia bukan hanya belanja negara yang membengkak, melainkan stagnasi penerimaan negara. Dalam satu dekade terakhir, penerimaan negara cenderung tidak mengalami peningkatan signifikan, tetap berada di kisaran USD 2-2,2 miliar. Padahal, ekonomi terus tumbuh, eksploitasi sumber daya alam semakin masif, dan pendapatan dari sektor ini dihitung dalam dolar. Jika ekonomi berkembang tetapi penerimaan negara stagnan, maka perlu ditelusuri apakah ada kebocoran atau permasalahan struktural dalam sistem keuangan negara.
Penghematan yang dikampanyekan saat ini tampaknya lebih bertujuan untuk memastikan pembayaran utang, terutama kepada kreditur swasta dan dalam denominasi mata uang asing. Hal ini sejalan dengan pola kebijakan fiskal yang selama ini lebih menekankan pada pemenuhan kewajiban pembayaran utang dibandingkan penguatan kapasitas fiskal untuk mendukung pembangunan nasional.
Jebakan Fiskal dan Peran Oligarki
Ketika Presiden Prabowo Subianto mengusung penghematan sebagai strategi untuk meningkatkan ruang belanja bagi sektor produktif, muncul dugaan bahwa kebijakan ini bisa menjadi jebakan bagi pemerintahannya sendiri. Sebab, dengan fokus pada efisiensi pengeluaran, Prabowo bisa terjebak dalam permainan Kementerian Keuangan yang sejak lama disebut memiliki hubungan erat dengan kepentingan oligarki.
Rezim fiskal yang berjalan sejak reformasi cenderung mengutamakan penghematan belanja dan pemungutan pajak yang ketat, tetapi pada saat yang sama, negara terus bergantung pada utang dan bantuan luar negeri. Hal ini berisiko memperlemah laju ekonomi nasional, sementara kepentingan kelompok tertentu tetap terjaga.
Lebih jauh, seruan penghematan juga bisa dimanfaatkan untuk membangun sentimen negatif terhadap birokrasi, menciptakan kesan bahwa masalah utama ekonomi adalah pemborosan anggaran pemerintah. Padahal, persoalan mendasar justru terletak pada ketidakseimbangan antara penerimaan dan kewajiban negara.
Resesi dan Konsekuensi Ekonomi
Secara ekonomi, penghematan besar-besaran yang diumumkan pemerintah dapat diartikan sebagai sinyal resesi. Resesi ditandai dengan stagnasi penerimaan negara dan meningkatnya beban utang, yang mendorong pemerintah untuk mengurangi belanja agar dapat memenuhi kewajiban finansialnya.
Konsekuensi dari kebijakan ini adalah meningkatnya biaya pinjaman bagi Indonesia. Investor dan lembaga keuangan global cenderung menaikkan imbal hasil (yield) pada surat utang negara jika risiko ekonomi Indonesia dianggap meningkat. Hal ini akan semakin membebani anggaran negara karena pemerintah harus menawarkan bunga yang lebih tinggi untuk menarik investasi.
Yang lebih mengkhawatirkan, wacana penghematan tampaknya tidak sesuai dengan skenario Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang telah disepakati DPR dan pemerintah. Jika penghematan dilakukan di luar perencanaan APBN, muncul pertanyaan: Bagaimana dana hasil penghematan akan digunakan? Apakah anggaran yang tidak terserap ini akan dialihkan ke pos lain atau justru menandakan bahwa pemerintah memang kekurangan dana?
Deja Vu: Dari Jokowi ke Prabowo
Fenomena serupa pernah terjadi pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, di mana kampanye penghematan anggaran, seperti pemangkasan anggaran seminar di hotel, menjadi salah satu langkah populis. Kini, strategi serupa kembali muncul di bawah pemerintahan Prabowo.
Pertanyaannya, apakah ini murni strategi fiskal, sekadar pencitraan, atau ada kepentingan lain di baliknya? Jika IMF dan Bank Dunia saat ini tidak lagi menekankan kebijakan penghematan, apakah ada pihak lain yang mendorong narasi ini demi kepentingan tertentu?
Kesimpulan
Seruan penghematan yang digaungkan pemerintah dapat dimaknai sebagai pernyataan bahwa negara menghadapi tekanan ekonomi yang serius. Jika tidak diiringi dengan upaya memperbaiki penerimaan negara dan mengatasi kebocoran anggaran, kebijakan ini hanya akan memperkuat ketergantungan pada utang serta melemahkan daya beli dan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai negara dengan potensi sumber daya alam yang besar, Indonesia seharusnya mampu meningkatkan penerimaan tanpa harus terjebak dalam skema penghematan yang justru bisa menjadi bumerang. Yang dibutuhkan bukan sekadar pemotongan anggaran, tetapi reformasi fiskal yang berani untuk memastikan bahwa pendapatan negara benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar memenuhi kepentingan oligarki dankrediturasing.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #