Langkah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid dalam menangani kasus penerbitan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan hak milik (SHM) di kawasan pagar laut Tangerang menuai tanda tanya besar.
Sanksi Pejabat Pensiun: Serius atau Sekadar Sensasi?
Dalam konferensi pers, Nusron Wahid mengumumkan bahwa delapan pegawai BPN mendapat sanksi berat, termasuk pencopotan dari jabatan mereka. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa salah satu pejabat yang disebut, Joko Susanto, mantan Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah) Kabupaten Tangerang, sudah pensiun sejak Oktober 2024.
Keputusan ini memunculkan pertanyaan: bagaimana mungkin seseorang yang sudah pensiun masih bisa "dicopot dari jabatan"? Jika yang dimaksud adalah sanksi administratif, apa dampaknya bagi seorang pensiunan? Hal ini memunculkan dugaan bahwa tindakan ini lebih bersifat simbolis daripada sebuah langkah penegakan hukum yang konkret.
Pembatalan Sertifikat: Mengapa Hanya 50 dari 263?
Dalam pernyataannya, Menteri ATR/BPN mengungkapkan bahwa terdapat 263 bidang sertifikat SHGB dan 17 SHM yang diterbitkan di kawasan pagar laut antara tahun 2022-2023. Sertifikat ini, secara hukum, berada di atas laut, yang menurut aturan seharusnya tidak dapat diterbitkan.
Namun, hanya 50 sertifikat yang dibatalkan, sementara sisanya masih dalam kajian dengan alasan menunggu fatwa Mahkamah Agung (MA). Padahal, merujuk pada PP Nomor 18 Tahun 2021, sertifikat yang baru berumur kurang dari lima tahun dapat dibatalkan langsung oleh BPN tanpa harus menunggu fatwa MA.
Hal ini menimbulkan spekulasi: apakah ada kepentingan tertentu yang sedang dilindungi?
Mengapa Belum Ada Tersangka?
Kasus ini tidak hanya menyangkut sertifikat tanah di atas laut, tetapi juga dugaan keterlibatan banyak pihak dalam penerbitannya. Selain di Desa Kohod, pemagaran laut juga terjadi di 16 desa dalam 6 kecamatan di Tangerang, di antaranya:
Teluk Naga (Tanjung Pasir, Tanjung Burung)
Pakuhaji (Kohod, Sukahati, Kramat)
Sukadiri (Karang Serang)
Kemiri (Karang Anyar, Patramanggala, Lontar)
Mauk (Ketapang, Tanjung Anom, Marga Mulya, Mauk Barat)
Kronjo (Munjung, Kronjo, Pagedangan Ilir)
Namun, hingga kini belum ada satu pun orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Jika memang terjadi pelanggaran serius dalam penerbitan sertifikat di atas laut, mengapa penegakan hukum tampak lamban?
Kesimpulan: Apakah Ada Upaya Menyelamatkan Oligarki?
Tindakan ATR/BPN yang setengah hati dalam membatalkan sertifikat dan memberikan sanksi pada pejabat pensiun memunculkan dugaan adanya kepentingan besar yang sedang diamankan. Apalagi, penundaan pembatalan total dengan dalih menunggu fatwa MA bertentangan dengan aturan yang ada.
Jika memang pemerintah serius dalam menegakkan hukum dan melindungi kepentingan rakyat, maka:
1. Batalkan seluruh sertifikat yang terbit di atas laut tanpa perlu menunggu fatwa MA.
2. Periksa seluruh pihak yang terlibat, termasuk pejabat di BPN dan pemerintah daerah yang mengeluarkan izin.
3. Tetapkan tersangka bagi mereka yang bertanggung jawab dalam penerbitan sertifikat ilegal ini.
Kasus ini bukan sekadar urusan administrasi pertanahan, tetapi bisa menjadi indikasi bagaimana oligarki memainkan peran di balik kebijakan agraria di Indonesia. Masyarakat menunggu jawaban: apakah hukum akan ditegakkan, atau justru kepentingan elite yang akandiselamatkan?
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #