Opini
Oleh Gde Siriana Yusuf Direktur Eksekutif INFUS pada hari Kamis, 20 Feb 2025 - 15:21:16 WIB
Bagikan Berita ini :

Tantangan Terberat Prabowo: State-Corporate Crime

tscom_news_photo_1740039676.jpg
(Sumber foto : )

Perspektif ekonomi politik telah lama membahas hubungan antara oligarki dan negara. Sementara itu, konsep state-corporate crime (SCC) mengkaji hubungan ini dari perspektif kriminologi.

SCC didefinisikan sebagai tindakan ilegal atau merugikan yang merupakan hasil dari kebijakan dan praktik bersama antara lembaga politik dan ekonomi (Kramer & Michalowski, 1990). Contoh kasus terkenal adalah skandal Iran-Contra, di mana pemerintah dan korporasi Amerika Serikat terlibat dalam penjualan senjata ilegal untuk membiayai kelompok pemberontak. Konsep ini dikembangkan lebih lanjut dalam Trusted Criminal: White Collar Crime in Contemporary Society (David Friedrichs, 2009), yang menyoroti bagaimana SCC sulit diberantas karena perlindungan kekuatan politik dan ekonomi.

Saat ini, SCC dipahami sebagai kejahatan yang melibatkan kolusi antara negara dan perusahaan swasta dalam tindakan ilegal atau tidak etis yang merugikan masyarakat, lingkungan, atau kepentingan umum. Dengan kata lain, SCC adalah bentuk negara ilegal yang bersembunyi dalam negara legal.

State-Corporate Crime di Indonesia

Pada era Reformasi, berakhirnya dwifungsi militer menyebabkan militer kehilangan akses langsung terhadap sumber daya ekonomi, sementara oligarki bisnis dan elite politik baru semakin kuat. Meskipun Reformasi membawa demokratisasi, kolusi antara oligarki bisnis dan elite politik tetap berlangsung dalam bentuk yang lebih kompleks.

Dua faktor utama berkontribusi terhadap maraknya praktik SCC pada era Reformasi. Pertama, desentralisasi memperluas spektrum korupsi ke daerah, misalnya, penguasaan sumber daya alam oleh elite lokal. Kedua, pemilihan umum langsung mendorong praktik pembelian suara, memperkuat hubungan saling menguntungkan antara oligarki dan elite politik.

Reformasi memang memperkenalkan liberalisasi ekonomi dan desentralisasi, tetapi tidak mengubah struktur ekonomi yang timpang. Oligarki lama tetap dominan, sementara oligarki baru muncul melalui kolaborasi dengan elite politik. Reformasi dalam kepemilikan, produksi, dan pasar, termasuk privatisasi BUMN, belum sepenuhnya meningkatkan transparansi dan efisiensi.

Di bawah pemerintahan Joko Widodo, beberapa kebijakan yang dianggap menunjukkan pengaruh oligarki antara lain proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Kereta Cepat. Transparency International mencatat bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia Corruption Watch juga melaporkan bahwa kasus korupsi selama era Jokowi merugikan negara hingga Rp 290 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa state-corporate crime masih menjadi tantangan besar.

Langkah-langkah pencegahan, seperti digitalisasi birokrasi, penguatan penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan pegawai negeri, telah dilakukan. Namun, korupsi tetap marak karena sistem yang permisif terhadap praktik ini. Hukuman cenderung lebih berat bagi pelaku di tingkat bawah dibandingkan aktor-aktor besar yang memiliki pengaruh politik dan ekonomi.

Harapan terhadap Pemerintahan Prabowo

Kini, perhatian publik tertuju pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menangani SCC. Dalam kampanye pemilu 2024, Prabowo menegaskan perlunya keadilan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan segelintir pihak. Ia juga menyoroti pentingnya kedaulatan ekonomi di bidang pangan dan energi, yang selama ini dikuasai oleh segelintir oligarki.

Dalam beberapa pernyataannya, Prabowo menegaskan komitmennya untuk menindak tegas oknum birokrasi yang menyalahgunakan kekuasaan dan melakukan korupsi. Salah satu langkah awal yang diambil adalah perintah pembongkaran pagar laut ilegal di Tangerang, Banten, yang dikaitkan dengan proyek reklamasi.

Namun, tantangan utama bagi Prabowo adalah bagaimana menghadapi kelompok oligarki yang turut berkontribusi dalam kemenangannya di pemilu. Seberapa jauh ia dapat menyeimbangkan kepentingan politik dan kebijakan publik akan menjadi indikator utama dalam perjuangan memberantas state-corporate crime.

Reformasi politik, hukum, dan ekonomi yang lebih mendalam diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah dan partai politik pada oligarki serta mencegah pengaruh berlebihan mereka dalam pemerintahan. Dengan koalisi besar dan tingkat penerimaan publik yang tinggi, Prabowo memiliki kesempatan untuk memimpin reformasi struktural. Namun, efektivitasnya akan sangat bergantung pada keberanian dan konsistensinya dalam menghadapi berbagai kepentingan yang ada.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Implikasi Konsep Danantara dalam Perekonomian Indonesia.

Oleh M. Said Didu
pada hari Jumat, 21 Feb 2025
Jakarta, 21 Februari 2025 - Pembentukan Danantara sebagai super holding BUMN memicu perdebatan luas di kalangan ekonom, akademisi, dan praktisi bisnis. Tujuan utama dari entitas ini adalah untuk ...
Opini

Danantara: Antara Harapan Pertumbuhan dan Risiko Sistemik

Jakarta, 21 Februari 2025 - Pembentukan Dana Investasi Negara atau yang disebut Danantara telah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Dengan skema yang bertujuan untuk mengelola ...