Jakarta, 21 Februari 2025 -Pembentukan Dana Investasi Negara atau yang disebut Danantara telah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Dengan skema yang bertujuan untuk mengelola dividen dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan menginvestasikannya dalam berbagai instrumen keuangan, Danantara diharapkan mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia. Namun, di balik gagasan besar ini, terdapat sejumlah tantangan dan risiko yang harus dicermati dengan seksama.
Mekanisme dan Tujuan Danantara
Danantara bertujuan untuk mengoptimalkan dividen BUMN agar tidak langsung digunakan dalam belanja negara, tetapi diinvestasikan lebih dahulu guna menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Misalnya, jika pada tahun 2025 BUMN menghasilkan keuntungan sebesar Rp 300 triliun, maka Rp 200 triliun di antaranya dapat dialokasikan ke Danantara untuk dikelola melalui berbagai instrumen investasi, seperti:
1. Pembelian saham perusahaan,
2. Obligasi atau surat utang,
3. Investasi di sektor properti, infrastruktur, dan bisnis strategis, baik di dalam maupun luar negeri.
Dengan model ini, pemerintah berharap dana yang diinvestasikan dapat berkembang lebih besar sehingga hasilnya dapat digunakan untuk APBN atau terus diperbesar demi keberlanjutan investasi.
Tantangan Kelembagaan dan Pengawasan
Salah satu kritik utama terhadap Danantara adalah pelemahan kewenangan Kementerian Keuangan dalam pengawasan keuangan negara. Sebelumnya, dividen BUMN langsung masuk ke APBN di bawah kendali Menkeu. Namun, dengan adanya Danantara, dana ini dikelola secara terpisah, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas.
Selain itu, proses pembentukan regulasi Danantara melalui RUU BUMN yang diarahkan ke Komisi 6 DPR juga menimbulkan tanda tanya. Mengingat implikasi besar terhadap sistem keuangan negara dan sektor perbankan, seharusnya pembahasan ini juga melibatkan Komisi 9, yang menangani BUMN strategis dan sektor keuangan. Pengalihan ini berpotensi melemahkan pengawasan legislatif terhadap kebijakan investasi Danantara. Keraguan akan peran DPR dalam melakukan pengawasan cukup beralasan, mengingat DPR saat ini lemah dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap pemerintah.
Risiko Likuiditas Bank BUMN dan Stabilitas Ekonomi
Salah satu aspek paling berisiko dalam skema Danantara adalah pelemahan likuiditas bank-bank pelat merah (Himbara), karena dividen mereka akan diserap dalam skema investasi ini. Jika bank-bank BUMN kehilangan likuiditas yang sebelumnya dapat digunakan untuk memperkuat permodalan, ada beberapa konsekuensi yang dapat terjadi:
1. Krisis likuiditas, terutama jika simpanan publik yang tersedot ke dalam investasi mengalami kesulitan dalam pengembalian.
2. Potensi kenaikan suku bunga kredit, karena bank harus mencari sumber dana baru untuk menutup kekurangan modal.
3. Kehilangan kepercayaan investor dan nasabah, yang dapat berdampak lebih luas terhadap stabilitas perbankan nasional.
Lebih jauh lagi, apabila terjadi kegagalan dalam pengelolaan investasi, kerugian tersebut tidak akan dicatat sebagai kerugian negara akibat korupsi, melainkan kerugian korporasi, sehingga tidak dapat secara langsung ditindak sebagai pelanggaran hukum kecuali ditemukan unsur kesalahan manajerial atau penyalahgunaan wewenang.
Kurangnya Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Pengawasan
Dalam mekanisme pengelolaan keuangan negara, BPK memiliki peran sentral dalam mengaudit keuangan negara secara berkala. Namun, dalam kasus Danantara, BPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan audit langsung, kecuali atas permintaan DPR. Hal ini membuka celah bagi potensi mismanajemen atau penyimpangan keuangan yang tidak segera terdeteksi.
Sebagai perbandingan, model investasi serupa yang diterapkan oleh Temasek di Singapura memiliki tingkat independensi yang tinggi, dengan fokus pada keuntungan (Return on Investment/ROI) dan bukan kepentingan politik. Namun, perbedaan utama terletak pada sumber pendanaan. Temasek tidak mengambil dividen dari BUMN secara langsung, melainkan berasal dari aset yang telah dikelola sejak lama dan dari investasi global yang sudah mapan.
Harapan Besar atauRisiko Besar?
Danantara berpotensi menjadi game changer dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia jika dikelola dengan prinsip transparansi, profesionalisme, dan independensi tinggi. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, terdapat risiko besar yang dapat berdampak sistemik terhadap stabilitas keuangan negara. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar Danantara tidak menjadi beban ekonomi di masa depan:
1. Mekanisme pengawasan harus diperkuat, terutama dengan peran aktif Kementerian Keuangan dan BPK dalam mengawasi kinerja investasi.
2. DPR harus memastikan pembahasan regulasi dilakukan secara transparan dan tidak mengabaikan aspek pengawasan keuangan.
3. Perbankan BUMN tidak boleh kehilangan likuiditas dalam skala yang membahayakan stabilitas perbankan nasional.
4. Independensi pengelolaan Danantara harus dijamin, tanpa intervensi politik yang dapat merugikan investasi jangka panjang.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia membutuhkan model investasi yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Namun, tanpa tata kelola yang ketat, Danantara bisa menjadi pedang bermata dua—baik sebagai peluang besar maupun ancaman yang tidak kalah besar bagi stabilitas keuangan nasional.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #