Oleh Cak AT (Ahmadie Thaha) pada hari Rabu, 09 Apr 2025 - 13:37:53 WIB
Bagikan Berita ini :

Bangun, Indonesiaku, Sebelum Jadi Fosil Sejarah

tscom_news_photo_1744180673.jpg
(Sumber foto : )

Pada suatu masa, Indonesia merasa dirinya besar. Sangat besar, sampai-sampai tahun 1962 kita menantang dunia dengan gaya dramatis: mengundang Tiongkok ke Asian Games Jakarta, meski Komite Olimpiade Internasional sudah pasang wajah masam.

Konsekuensinya, dunia mengusir Indonesia dari Olimpiade Tokyo 1964. Alasannya politis: mereka menuduh Indonesia mendukung komunisme. Tapi tidak apa-apa, kata Bung Karno, sambil membusungkan dada — solidaritas itu lebih penting dari medali emas.

Pada masa itu, kita masih "menolong" Tiongkok yang papa dan dekil. Pendapatan per kapita kita lebih tinggi. Kita lebih keren, lebih makmur, lebih... ya, lebih banyak alasan untuk merasa bangga. Bahkan hingga 1997, Indonesia masih bangga berkata, "Kami lebih baik dari Cina."

Sayangnya, dunia terus berlari, dan Indonesia malah sibuk memperbaiki dasi sambil merapikan rambut yang mulai rontok, masih berkutat mengatasi urusan perut, gizi yang buruk, serta tambang dan pertanian yang terus dikorupsi. Sementara itu, kini Tiongkok telah terbang tinggi.

Bangsa bermata sipit itu tidak cuma membangun gedung pencakar langit dan kereta super cepat; mereka bahkan sedang berkemas untuk mendirikan kantor cabang di Bulan. Sementara kita? Masih sibuk debat apakah TikTok itu ancaman nasional atau sekadar hiburan.

Ada yang mencoba mencari kambing hitam: katanya, Cina sukses karena menghukum mati koruptor. Padahal, kalau kunci kemajuan itu semudah menggantung orang di alun-alun, mungkin dunia sudah penuh tiang gantungan, bukan gedung pencakar langit.

Lalu ada yang berbisik penuh teori, bahwa orang Cina itu hemat, pekerja keras, dan sedikit licik. Mungkin ada benarnya. Tapi seperti kata Prof. Elwin Tobing yang mengajar orang-orang Cina dan pemuda-pemuda kita di California University, AS, semua itu bukanlah inti persoalan.

Masalahnya sederhana dan menyakitkan: mereka menghargai ilmu, sementara kita lebih sibuk menghargai gelar dengan cara menipu diri. Mereka haus pengetahuan, sementara kita haus jabatan. Mereka disiplin belajar, sementara kita merasa cukup dengan pura-pura tahu.

Tiongkok tahu diri mereka tertinggal, maka mereka mengirimkan ratusan ribu mahasiswa terbaik ke seluruh dunia, terutama ke Amerika Serikat. Elwin Tobing mencatat, pada 2019, ada 370.000 mahasiswa Cina di AS — hampir 35% dari seluruh mahasiswa internasional.

Jumlah itu melonjak sepuluh kali lipat dibanding tahun 1990. Sedangkan Indonesia? Kita hanya mengirim 8.300 orang, lebih sedikit dari jumlah yang kita kirim tiga dekade lalu. Mungkin kita mengira cukup belajar lewat YouTube dan seminar motivasi.

Lalu apa hasilnya dari kerja keras belajar itu? Para lulusan pulang ke Cina dan ditugasi memperbaiki negeri. Ekonomi Tiongkok pun meledak. Produk domestik bruto mereka kini lebih dari 18 triliun dolar AS, menjadikan mereka ekonomi terbesar kedua dunia.

Kini mereka tak hanya mengekspor mainan dan baju murah, tapi juga teknologi tinggi: mobil listrik BYD yang mengancam Tesla, pabrik semikonduktor SMIC yang bersaing dengan raksasa dunia, fesyen Shein yang menaklukkan pasar global, hingga kecerdasan buatan Baidu, Alibaba dan SenseTime yang kini memimpin inovasi AI.

Sementara itu, di Tanah Air, kita masih sibuk bangga membuat motor listrik yang harganya lebih mahal dari motor biasa, sambil tetap berdebat apakah wajar lulusan S3 harus tahu caranya mengisi formulir online. Kita dipermalukan oleh sidang berlarut-larut soal ijazah palsu mantan pemimpin tertinggi negeri ini.

Ironisnya pula, semua ini terjadi bukan karena kita bodoh, malas, atau kurang berbakat. Justru karena kita terlalu cepat puas, terlalu rajin berfoto, dan terlalu malas bertanya. Kita lebih suka merayakan capaian kecil dengan pesta pora, alih-alih mengejar ilmu dengan lapar dan haus seperti mereka.

Tapi tidak semua harapan pupus. Prof. Elwin Tobing bersiap mengirimkan "wake-up call" lewat bukunya, Agenda Indonesia, yang akan terbit Juni 2025. Sebuah peta jalan agar bangsa ini berhenti bermimpi sambil tiduran, dan mulai berlari dengan akal sehat, bukan sekadar semangat sesaat.

Karena kalau tidak, jangan salahkan sejarah bila nanti kita hanya jadi catatan kaki: "Indonesia, negara yang dulu hampir jadi besar."

Cak AT - Ahmadie Thaha
Ma"had Tadabbur al-Qur"an,9/4/2025

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
IDUL FITRI 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
IDUL FITRI 2025 WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2025 HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2025 HERMAN KHAERON
advertisement
Lainnya
Opini

Presiden Trump dan Perang Tarif

Oleh Andi Rahmat, Anggota DPR RI 2004-2009/2009-2014
pada hari Kamis, 10 Apr 2025
Sebetulnya tidak ada yang aneh dari perilaku kebijakan ekonomi Presiden Trump. Penggunaan instrumen tarif sebagai alat proteksionisme perdagangan sudah sering dipergunakan oleh beberapa Presiden ...
Opini

Tarif 84 Persen, Dunia pun Tertawa

Di dunia politik internasional, ada momen-momen bersejarah yang membuat kita tertawa, seraya bertanya: "Ini nyata atau cuma episode tambahan dari acara komedi situasi?" Dan saat ini, ...