JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Inilah pengakuan Tjatur Sapto Edy ketika berkeras menuntut Freeport agar diaudit. Anggota Fraksi PAN DPR RI ini malah diiming-imingi suap sebesar 2,5 juta Dolar AS.
“Saya pernah ditawari 2,5 juta US Dollar oleh teman yang punya afiliasi ke Freeport,” ujar Tjatur pekan lalu saat menghadiri acara buka bersama DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Jakarta. Dia mengungkapkan itu terjadi 2008.
Percobaan penyuapan itu dilakukan perusahaan asal Amerika saat Tjatur menjadi anggota panitia kerja (Panja) Freeport Komisi VII di 2008. Saat itu, dia berkeras minta Freeport diaudit pemerintah.
Tjatur beralasan, berdasarkan informasi Menteri ESDM saat itu Purnomo Yusgiantoro, pemerintah hanya menerima laporan Freeport tidak pernah mengawasi langsung. “Satu-satunya pengawas adalah Sucofindo yang dihayer (dibayar-red) Freeport sendiri,” ungkapnya
Tjatur minta audit total lantaran yang dilaporkan Freeport hanyalah penambangan emas, perak dan tembaga dengan royalti sekitar satu persen. Padahal banyak mineral lain dalam bijih tambang yang dikeduk Freeport dari bumi Papua.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan Tjatur dengan mengambil beberapa sample konsentrat tanpa sepengetahuan pihak Freeport, dapat dipastikan ada12 mineral berharga lainnya selaian emas, perak dan tembaga.
“Saya pernah ‘mencuri’ (konsentrat-red) dan dibawa ke ITB (untuk diteliti kandungan mineralnya-red) ternyata ada 15 mineral, ada uranium sedikit dan radio aktif lain,” beber Tjatur yang juga lulusan ITB itu.
Atas hal tersebut, DPR memanggil pemilik Freeport, James R Muffet yang tinggal di Amerika. Namun Tjatur sudah menduga Muffet tidak mau datang. Tetapi yang menarik, sejak saat itu seluruh direksi Freeport Indonesia dicopot.
“Karena sebelumnya tidak pernah ada pemanggilan oleh DPR,” tegas Tjatur, politisi PAN yang dikenal dekat dengan Hatta Radjasa ini.
Tjatur mengungkapkan itu antara lain yang melatarbelakangi lahirnya Pasal 171 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). UU ini mengharuskan semua pertambangan memiliki smelter.
“Kalau konsentrat diolah di Indonesia kita jadi tahu kandungannya (kandungan mineral dalam bijih tambang-red),” ungkap Tjatur. Selain itu juga memberikan nilai tambah yang menguntungkan perekonomian di dalam negeri.
Berdasarkan UU tersebut, perusahaan tambang diberi waktu hingga Januari 2014 agar membangun smelter. Namun Freeport tidak mau menggubris. Akibatnya setelah waktunya habis, selama 2014 konsentrat menumpuk di gudang Freeport.
Namun oleh pemerintahan Jokowi-JK, Freeport justru diberi kebebasan lagi untuk mengekspor konsentrat tersebut tanpa harus diolah di Indonesia. Langkah ini jelas-jelas melanggar UU nomor 24 tahun 2009 tentang Minerba.
Tjatur menyayangkan Komisi VII DPR RI hasil Pemilu 2014 atau saat ini tidak bersikap tegas mengawal UU. “Komisi VII-nya saya tidak tahu, apakah sudah lembek atau dilembekkan,” ujar Tjatur sambil tersungging.(ris)