Apa yang terjadi pada Muktamar ke-33 NU di Jombang Jawa Timur sesungguhnya sudah terjadi juga di ormas-ormas Islam besar lain, yakni fenomena 'parpolisasi' di Indonesia era reformasi. Peran rekruitmen parpol bukan saja ke dalam pemerintahan, tetapi telah meluas ke dalam dunia usaha dan masyarakat madani.
Metode rekruitmen digunakan 'transaksional' yakni memfasilitasi dengan uang/dana dan kemudahan-kemudahan lain yang membutuhkan kapital/modal kepada para pemilik suara dan para penggembira agar memberikan dukungan terhadap pengambilan keputusan pemilihan pengurus ormas tsb.
NU menjadi sangat terbuka karena ada parpol (PKB) yang konstituennya dominan warga NU dan sedang dalam posisi parpol berkuasa di pemerintahan. Kepentingan parpol atas penguasaan NU tentu dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan.
Saat Muktamar NU berlangsung, Kubu Gus Solah membeberkan, harga dukungan AHWA Rp 15-25 juta Per PCNU. Kelompok tertentu di Muktamar menghendaki metode AHWA dalam proses pengambilan keputusan. AHWA bermakna metode musyawarah mufakat, bukan one man one vote. Tapi, menurut Gus Solah, AHWA tidak dikenal di dalam AD/ART NU.
Warga NU diperebutkan paling tidak oleh kader PKB, PPP, dan Golkar. Kalau Muhammadiyah diperebutkan oleh kader PAN, PPP dan Golkar. Kader-kader parpol juga sudah terlihat ikut memperbutkan kekuasaan kekuasaan atau pengurus di Muhammadiyah.
Kultur transaksioalisme yang sebelumnya tebebas dari ormas-ormas Islam ini, kemudian diperkenalkan dan dilembagakan oleh kader-kader parpol yang sudah terkena atau tercemar ketika menjadi pejabat pemerintahan, misalnya DPR/DPRD, Menteri, Gubernur/Walikota/Bupati dan juga di dalam dinamika internal parpol itu sendiri.
Di saat penyelenggaraan Kongres atau Muktamar parpol, perilaku transaksionalisme dapat ditemukan secara terbuka dalam pemilihan pengurus terutama Ketua Umum. Fenomena parpolisasi ini memproduksi perilaku transaksionalisme dan juga koruptif. Kultur ideologis digusur kultur transaksionalisme, AD/ART disesuaikan kepentingan kelompok transaksionalisme.
Sebuah organisasi berkultur transaksionalisme pasti 'elitis' tidak berkerja sungguh-sungguh untuk mensejahterakan kebanyakan anggotanya. Karena sumber masalah kultur transaksionalisme ini adalah parpol, maka fenomena parpolisasi di Indonesia harus diminimalkan atau harus ada upaya deparpolisasi antara lain melalui regulasi.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #muktamar nu #parpolisasi #muchtar