BOGOR (TEROPONGSENAYAN) - Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat belum membuat pengusaha tempe di Kota Bogor, Jawa Barat menaikkan harga ataupun mengecilkan ukuran.
"Harga masih normal, belum dinaikkan. Kita belum berani menaikkan harga atau mengecilkan ukuran, kasihan masyarakat kecil ngak bisa makan tempe," kata Kasmono (60) produsen sekaligus penjual tempe saat ditemui di Bogor, Kamis.
Kasmono menyebutkan, tempe yang diproduksinya dipasok ke Pasar Bogor, Pasar Anyar dan Pasar Jambu dua, saat ini harga jual tempe masih dipatok Rp5.000 untuk ukuran kecil dan Rp10.000 untuk ukuran besar.
Menurut Kasmono, selama 10 hari terakhir sejak rupiah mengalami pelemahan, ongkos produksi tempe menjadi meningkat. Sebelumnya satu kwintalnya seharga Rp680 ribu, kini naik menjadi Rp700 ribu per kwintal. Sehari ia membutuhkan empat kwintal kedelai impor.
"Ongkos produksi otomatis naik, harga kedelai yang biasa beli satu kwintal 680 ribu sekarang sudah 700 san," kata pria asal Pekalongan tersebut.
Kasmono dan empat anaknya menjadi produsen tempe yang ada di wilayah Cimanggu Barata, Kecamatan Tanah Sareal yang dikenal sebagai sentral produksi tempe rumahan milik masyarakat.
Dari empat kwintal kedelai yang dibelinya, Kasmono mampu memproduksi kurang lebih 1.500 tempe terdiri dari dua ukuran. Tempe yang diproduksi dijual lagi olehnya bersama anak-anaknya di tiga pasar.
"Ya kita masih bisa produksi, tetapi untungnya tipis. Kalau dulu masih ada untung misalnya Rp50 ribu, sekarang jadi Rp25 ribu," katanya.
Tetapi Kasmono masih bersyukur masyarakat masih mau membeli tempe. Setiap hari 1.500 tempe yang diproduksinya rata-rata laku terjual.
"Daging sudah mahal, ayam juga, kalau tempe ikutan naik nanti masyarakat makan apa. Tempe kan jadi andalannya masyarakat kelas bawah," kata Kasmono.
Damiri (44) produsen dan pedagang tempe lainnya juga belum berani untuk menaikkan harga tempe. Ia masih menunggu sampai rupiah dapat menguat lagi. (iy/an).