Kapitalisme menjadi bulan-bulanan kritik. Liberalisme menjadi sangat buruk. Radar Panca Dahana yang, bicara atas nama kebudayaan, memandang dari struktur prisma sosiologi. Kalau yang puncak terus ingin lebih, maka ia mengambil dari yang paling rendah.
Tak seluruhnya benar begitu. Tapi akhir kritik, tetap saja buntu dan no escape. Begitu juga dari Prof Siti Zuhro, no escape. Kapitalisme tetaplah buruk muka ketika krisis. Tapi apakah ada yang lebih enak wajahnya? Tak ada! Itu diperparah oleh politisi yang menggunakan topeng, kata Siti.
Saya tak dapat menangkap apa yang diinginkan kebudayaan untuk keluar dari krisis, selain kritik itu sendiri. Tak ada penawaran, apakah kita akan bisa keluar dengan revolusi kebudayaan, misalnya. Setahu saya, revolusi mental itu, adalah buah revolusi kebudayaan. Sayang Yudi Latief yang mengerjakan proyek revolusi mental itu tak hadir.
Mochtar Efendy Harahap, mengajukan 7 issu setahun terakhir: Asing, Aseng, Asong, korupsi, kesenjangan sosial, sikap anti Cina, state failure, amandemen UUD, dan parpolisasi pemerintahan, bisnis, dan civil society. Yang terakhir itu, intinya adalah kejahatan parpol.
Isu ini tak bisa dialamatkan kepada Jokowi an-sich. Itu ke PDIP, kepada ruling party, dan PAN. Sutrisno Bachir, telah mengajukan 20 nama untuk masuk kabinet. Mantap. Yang bisa dialamatkan, pertanyaan Kwiek, bahwa Jokowi didukung Nine Swords, dan disetir Sembilan Naga.
Apa itu keliru? Ya! Hoakiao (Chineese Overseas - Cina Perantauan) ini yang dikritik habis-habisan sebagai telah menjerumuskan rezim Jokowi ke kegelapan. Sayang, jalan keluar Mochtar sangat ekstreem. Saya ragu, apakah 1 dari 11 wayout itu saja, bisa dilaksanakan. Apalagi 11 biji. No Escape!
Apakah Jokowi korupsi? Adalah Aryadi Achmad yang menuding, bahwa Jokowi telah berkorupsi melalui tangan ketiga Hoakiao. Karenanya pantas untuk dilengserkan. Tapi dinegasikan oleh Eros Djarot. Jika Jokowi tak diasumsi koruptor, akan sulit bagi oposisi merubuhkan Jokowi.
Kelemahan kepemimpinan akan terjerumus ke debatable. Setahun, takkan menjawab bahwa leadership Jokowi buruk. Sebab, Pak Harto saja, butuh empat tahun untuk menjadi strong government. Yaitu, setelah Soeharto menghabisi lawan-lawan politiknya via Malari.
Jokowi butuh waktu untuk menjadi strong government. Ia harus membuang para opposan dari kabinet dan pemerintahannya. Itu tak mudah dikerjakan, apalagi dengan sistem otonomi daerah yang "lilu" itu. Tanya deh ke Prof Riyass Rasyid mengapa lilu begitu. Command Line itu tak jalan, berhenti di Provinsi.
Bandingkan saja dengan UU No 5 Tahun 1974: (1) Otonomi Daerah adalah provinsi, (2) Gubernur adalah Pembantu Presiden, (3) Gubernur adalah penguasa tunggal daerah, (4) Gubernur adalah administratur tunggal daerah.
Kini, lini komando berhenti pada gubernur saja, dan gubernur tak memiliki hubungan dengan kabupaten/kota yang punya kekuasaan sendiri. Siapapun presidennya, takkan menjadi strong government. Apalagi setelah ditimpa kurs. No escape!(*)
TeropongRakyat adalah media warga. Setiap opini/berita di TeropongRakyat menjadi tanggung jawab Penulis.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #krisis #jokowi #djoko edhi