Presiden Jokowi tidak link and macth mencari kambing hitam dalam kasus Arcandra Tahar. Itu ulahnya sendiri. Sebab, sikon hukumnya tak begitu. Pertama, UU Kementerian Negara dibuat dan ditujukan hanya kepada satu orang, yakni pemegang hak prerogatif, yakni presiden seorang.
Kedua, UU nomor 39 tahun 2008 tadi, dibuat bukan untuk umum, bukan untuk orang lain, hanya untuk presiden seorang ansich.
Ketiga, UU Kementerian Negara itu hanya membatasi hak prerogatif pada norma dasar. Misalnya, hak prerogatif tak bisa mengangkat bayi menjadi Menteri Negara. Atau hak prerogatif tak bisa digunakan untuk mengangkat warga negara asing menjadi Menteri Negara. Atau orang gila klinis menjadi Menteri Negara, dlsbnya.
Keempat, UU Kementerian Negara wajib digunakan oleh presiden, di mana subtansi UU ini adalah tata cara mengangkat dan memberhentikan Menteri Negara.
Kelima, subtansi filosofi hukum UU Kementerian Negara adalah menjaga kekuasaan hak prerogatif. Ada dua mazhab yang dianut oleh Pansus, di mana saya menjadi anggota pansus RUU Kementerian Negara tahun 2006 yang kemudian diberi nomor 39 tahun 2008, yaitu: (1) mazhab Prof Harun Al Rasyid: "Hak prerogatif tak bisa dikurangi". (2) mazhab Prof Ismail Suny: "Hak Prerogatif berhenti ketika muncul UU yang mengaturnya". Kedua mazhab terpakai. Hak prerogatif tidak dikurangi, tetapi dalam norma dasar, hak prerogatif berhenti.
Keenam, di antara norma dasar tersebut, adalah "Menteri Negara adalah warga negara Republik Indonesia". Andaikata frasa kata asli masih dipakai UUD 2002, niscaya bunyinya, "Menteri Negara adalah warga negara Indonesia asli".
Norma dasar yang juga dimasukkan adalah jumlah Menteri. Setelah dihitung, Menteri yang mau diangkat tadi, jumlahnya 34. Jika kurang dari 34, maka satu Dirjen harus memikul lebih 7 Direktur bidang. Sebaliknya juga begitu, di mana pekerjaan Otonomi Daerah dikerjakan oleh Dirjen yang seharusnya dikerjakan daerah. Dari hasil penelitian, kemampuan seorang Dirjen maksimum 5 direktur. Jadi pengambilan angka 34 tadi, sudah melalui penelitian.
UU Kementerian Negara tersebut bukan hak usul pemerintah, juga bukan hak usul inisiatif DPR. Melainkan amanat dari UUD 2002. Pemerintah yang membuat draftnya. UU ini juga tanpa naskah akademik, sehingga Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dibentuk dari masukan masyarakat. Karenanya tidak diketahui perbandingan hak prerogatif pada sistem negara yang lain.
Mestinya UU nomor 39 itu, selesai pada periode pertama reformasi, yaitu 1999 - 2004 sesuai dengan amanat UUD 2002 dan kategorinya adalah UU induk. Dialektika penafsiran UU tersebut, yang harus dimuat adalah legitimasi hukum publik dari Menteri Negara ketika hak prerogatif berhenti akibat UU itu.
Dari siapa para Menteri itu beroleh legitimasi hukum publik? Sebab, menteri negara bukan pejabat yang memperoleh legitimasi hukum publiknya dari acara fit and proper test dari DPR-RI. Menteri Negara tak masuk pejabat publik yang di fit and proper test. Karena faktanya Menteri Negara adalah figur publik yang tingkah lakunya mempengaruhi publik dan pelaksanaan sistem kenegaraan, mereka harus memperoleh legitimasi hukum publik.
Prof Ryass Rasyid mengusulkan senaat confirmation tapi ditolak karena di hukum tata negara Indonesia senaat confirmation belum dikenal. Dapat dikatakan bahwa senaat confirmation telah diubah menjadi president confirmation sebagai legitimasi hukum publik oleh UU Nomor 39 itu. Maka pelaksananya adalah presiden sendiri.
Yurisprudensi UU ini sudah ada, yakni yang dijalankan oleh Presiden SBY. Dan ternyata tanpa komplain sama sekali. Jadi, UU ini yang tidak dilaksanakan oleh Presiden Jokowi. Dari aturan main UU ini, Presiden Jokowi tak bisa mencari kambing hitam, sejak dari kecolongan, pembisik yang salah, hingga pihak- pihak kaukus politik dan kaukus bisnis di sekitar presiden.
Akibatnya, berlaku pasal 7 UUD 2002, presiden melanggar hukum dan diancam dapat dilengserkan. Dalam catatan saya, presiden telah berulangkali melanggar hukum. Kasus Archandra Tahar adalah kasus terkini dari pelanggaran hukum presiden.(*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #