JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Langkah pemerintah menaikkan harga elpiji 12 kg yang didahului dengan penurunan harga bahan bakar minyak Rp900 per liter, sebenarnya sama saja dengan tindakan memindahkan dan menambah beban rakyat.
"Harga BBM turun Rp900 per liter, tapi harga elpiji 12 kg naik Rp1.500 per Kg atau menjadi sekitar Rp150 rubu - Rp165 ribu per tabung 12 Kg. Ini artinya pemerintah masih saja mengambil keuntungan dari durian runtuh karena beban biaya sebenarnya justru dialihkan menjadi tanggungan rakyat," kata pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy kepada TeroppongSenayan di Jakarta, Selasa (6/1/2015).
Noorsy menampik pernyataan bahwa Pertamina mengalami kerugian saat menjual elpiji 12 Kg saat ini. Justru, menurutnya, ini merupakan indikasi pemerintah ingin memberlakukan mekanisme pasar bebas pada komoditas hajat hidup orang banyak, khususnya gas LPG.
“Penjelasan merugi ini disebabkan Pertamina berpatokan pada harga minyak mentah dari Saudi Arabia America Company,” ucapnya
Noorsy justru mempertanyakan harga energi nasional yang menyangkut hajat hidup orang banyak tetapi dilepas ke pasar bebas. Kebijakan seperti itu sama saja membajak Pasal 33 UUD 1945.
Pemerintah juga tidak fair dalam penentuan harga. Kalau memang benar-benar menyerahkan sejumlah komoditi seperti listrik, BBM dan elpiji ke pasar bebas, harusnya bea produksinya dibuka. Karena dari hitungannya, kalau BBM benar-benar dilepas ke pasar harganya tidak lebih dari Rp5.500 atau tidak ampai Rp7.600 per liter. Karena minyak dunia saat ini sedang turun.
Kenyataannya, sampai saat ini pemerintah sendiri tidak pernah mau membuka struktur biaya pokok produksi BBM. Kalau mau lepas harganya ke pasar mestinya dibuka. "Baik untuk BBM yang diproses di kilang sendiri maupun BBM yang diimpor tidak ada yang biaya produksi dibuka," tutur mantan anggoat DPR dari Partai Golkar. (ss)