Opini
Oleh Prijanto (Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta) pada hari Selasa, 03 Mar 2015 - 08:06:16 WIB
Bagikan Berita ini :

Lapor ke KPK, Ahok Bagaikan Menggali Kubur Jokowi dan Dirinya

43Prijanto (emka).jpg
Prijanto (Sumber foto : Emka Abdullah)

E-budgeting hanyalah pilihan sistem, untuk memformat anggaran. Tujuannya untuk keamanan, mempercepat akses, mudah diakses dan dibaca siapa saja. Namun, tidak bisa dikutak-kutik oleh sembarang orang karena dikunci. Membuka dan mengubah isi R-APBD hanya petugas yang mengetahui password atau kuncinya.

Berdasarkan aturan, R-APBD dari eksekutif sangat dimungkinkan adanya perubahan. Sebab, eksekutif bisa salah dalam membuat perkiraan sektor penerimaan, Silpa dan alokasi anggaran. Begitu juga jenis program, yang tidak mengacu hasil Musrenbangda dan kebutuhan rakyat. Perubahan R-APBD hasil pembahasan bersama, memiliki konsekuensi Gubernur untuk mengubah R-APBD yang diajukan. Artinya, ketika kita memilih e-budgeting, tidak berarti R-APBD awal tidak bisa diubah bak kitab suci.

Dana Siluman/Program Siluman
Saya cenderung menyebut ‘program siluman’ daripada ‘dana siluman’. Program disebut siluman oleh eksekutif, karena muncul di luar R-APBD. Namun, dari sisi anggota Dewan, disebut pokok-pokok pikiran anggota Dewan. Program yang muncul bisa baik sesuai kebutuhan atau sebaliknya.

Pertanyaan kritisnya: apakah fungsi anggaran DPRD boleh membahas sampai jenis program? Sewaktu menjadi Wagub, September 2009 saya mengkritisi perilaku Dewan melalui buku “Mengintip APBD & Pembangunan Jakarta”. Selesai menjabat, saya tulis buku “Mengawal Uang Rakyat” yang peluncurannya waktu itu dihadiri Wagub Ahok, di hotel Borobudur. Walaupun saya kesal terhadap perilaku oknum Dewan, saya berpendapat ‘boleh dan penting anggota DPRD bisa membahas sampai satuan tiga namun dengan catatan’.

Mengapa boleh dan penting? Pertama, karena DPRD bagian dari Pemerintahan Daerah. Posisi DPRD sangat berbeda dengan DPR RI. Kedua, anggota dewan juga mengetahui kebutuhan rakyat dan wilayahnya. Ketiga, untuk melengkapi bila konsep R-APBD ada yang terlewatkan. Keempat, konsep dari eksekutif belum tentu benar. Kelima, untuk membantu jangan sampai eksekutif salah langkah. Keenam, implementasi fungsi pengawasan.

Dengan catatan, artinya pokok-pokok pikiran anggota Dewan benar-benar dibutuhkan rakyat. Di samping itu, penyampaian pokok-pokok pikiran kepada eksekutif sebaiknya 5 bulan sebelum R-APBD disahkan. Dimasukkan atau tidak dalam RAPBD akan dibahas bersama dalam tahap pembahasan. Itulah sejatinya implementasi fungsi anggaran DPRD.

Justru pembahasan R-APBD 2015, ada kekeliruan Dewan yang tidak membahas ‘Belanja Lansung’. Jika dibahas detail, akan ketahuan bahwa TKD Dinamis, sebagai kebijakan baru Gubernur Ahok, patut diduga memiliki potensi kerugian negara. Sebab, bagaimana mungkin PNS melaksanakan Tupoksi dibayar dua kali? Inilah contoh pentingnya pembahasan detail oleh Dewan, guna mencegah kekeliruan eksekutif.

Ahok Menggali Kubur
Penjelasan Ahok setelah lapor ke KPK “lebih baik tidak jadi Gubernur daripada mencuri uang rakyat” merupakan kalimat yang sangat bagus dan patut diberi apresiasi. Namun, langkah Ahok ke KPK tidak ada korelasi dengan ‘pelanggaran aturan’ yang dilakukan Ahok dalam proses penyusunan APBD 2015. Laporan Ahok ke KPK bukan menjadi alasan pembenaran atas pelanggaran pengiriman R-APBD 2015 ke Kemendagri yang bukan hasil Rapat Paripurna.

Jika Ahok punya etika dan komunikasi politik yang baik, setelah Gubernur menerima laporan hasil pembahasan oleh Sekda (TAPD) sesungguhnya bila ada program yang mengganjal, Gubernur masih punya waktu, bisa dan harus melakukan komunikasi dengan DPRD sebelum Rapat Paripurna. Inilah yang disebut dengan komunikasi politik.

DPRD pada posisi yang pasif, karena pembahasan sudah selesai. Eksekutif tidak minta pembahasan lagi, berarti hasil pembahasan disetujui. Apalagi sudah Rapat Paripurna. DPRD menganggap perubahan sudah dimasukkan dalam sistem e-budgeting. Ternyata tidak. Keanehan justru terjadi, yang dikirim ke Kemendagri draft awal RAPBD. Eksekutif beralasan, ini e-budgeting yang tidak bisa diubah dan Gubernur tidak ingin ada anggaran siluman.

Bagaimana mungkin e-budgeting justru menabrak aturan? Jika program tersebut disepakati bersama, apa pas disebut siluman? Sesungguhnya, persoalan terletak apakah jenis program tersebut sebagai program penting dan prioritas? Apakah alokasi anggaran pada program tersebut di ‘mark up’? Di sinilah diperlukannya pembahasan, komunikasi dan koreksi sebelum Rapat Paripurna.

Jurus Ahok menyikapi Hak Angket Dewan dengan melaporkan APBD 2014 ke KPK, bisa disebut menggali kubur untuk dirinya dan yang terkait. Sebab, berdasarkan UU No. 32/2004 pasal 27, Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki kewajiban yang sama dalam melaksanakan dan mempertanggunjawabkan pengelolaan keuangan daerah.

Perda APBD 2014 adalah perintah Gubernur Jokowi kepada satuan bawahannya, untuk melaksanakan program pembangunan di Jakarta. Apabila ada program yang mencurigakan, tentunya Wagub tidak akan paraf dan Gubernur tidak tanda tangan. Adanya paraf dan tanda tangan, berarti Gubernur dan Wagub menyetujui dan bertanggung jawab.

Jika dalam APBD 2014 diketemukan ada kerugian negara pada pos-pos tertentu, maka yang harus bertanggung jawab adalah Gubernur dan Wakil Gubernur pada waktu itu. Unsur pelaksana dan pembantu yang terseret antara lain, Kepala SKPD atau Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, Panitia Lelang, Sekda, Kepala Bappeda, Kepala BPKD, Irprov dan Karo Hukum. Oknum DPRD dan Pemprov yang mendorong munculnya program tersebut serta kecipratan duit, juga ikut bertanggung jawab.

Laporan Ahok ke KPK bagaikan tsunami bersih-bersih dari koruptor, termasuk kuburan bagi dirinya. KPK hendaknya tidak pilih kasih dalam menegakkan hukum dan keadilan. Bisakah kasus APBD 2014 di DKI diselesaikan KPK sebagaimana penyelesaian kasus Hambalang yang menyeret Menpora, Andi Malarangeng? Mari kita tunggu.(yn)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #Ahok  #DPRD DKI  #Dana Siluman  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...