JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu menilai, Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan tidak terlalu hebat terkait sedot data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pilpres 2014 seperti yang dibocorkan politikus Nasdem Akbar Faisal.
Sambil berseloroh, anggota Komisi III DPR ini mengatakan kalau Luhut Panjaitan bukan lulusan Harvard University, sebuah universitas terkemuka di Amerika dan dunia. Jadi, mustahil pria kelahiran 28 September 1947 itu mempunyai keahlian menyedot data KPU.
"Itu tidak terbukti, karena Luhut enggak canggih-canggih amat," kata Masinton kepada TeropongSenayan di gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Rabu (8/4/2015).
Meski demikian, Masinton mengaku kecewa dengan Luhut Panjaitan, karena lebih mempercayakan staf kepresidenan dihuni orang-orang lulusan Harvard, dibanding lulusan terbaik universitas dalam negeri.
"Memang orang-orang lulusan terbaik universitas dalam negeri tidak ada. Kenapa harus lulusan Harvard semua. Ini kan timbulkan pertanyaan," ujarnya.
Luhut Panjaitan banyak dikritik sejumlah kalangan termasuk oleh relawan Jokowi-JK saat Pilpres lalu, salah satunya Akbar Faisal dimana Luhut lebih memprioritaskan lulusan Harvard University ketimbang lulusan universitas dalam negeri untuk menduduki jabatan staf Kepresidenan.
Berikut kutipan lengkap kritikan Akbar yang dikirimkan kepada Yanuar Nugroho, salah satu staf Kepresidenan yang dikabarkan lulusan Harvard University (dengan beberapa perbaikan kesalahan penulisan):
Saya sebenarnya pernah ingin mempersoalkan lembaga bernama Kastaf ini sebab sejujurnya "tak ada" dalam perencanaan kami di Tim Transisi dulu. Sekadar menginfokan ke Anda, Mas, bahwa Tim Transisi itu dibentuk Pak Jokowi untuk merancang pemerintahan yang akan dipimpinnya.
Tapi saya sungguh tak nyaman mempersoalkan itu sebab akan dituding macam-macam.
Misalnya, "Akh...karena AF (Akbar Faisal) kecewa tidak jadi menteri dan lain lain. Dan masih banyak lagi sebenarnya yang ingin saya pertanyakan.
Termasuk surat presiden ke DPR tentang Komjen (Pol) Budi Gunawan yang disusul kontroversi lainnya.
Ke mana para pemikir Tata Negara di sekitar Pak Jokowi sekarang? Yang kudengar selanjutnya malah pengangkatan Refly Harun sebagai Komisaris Utama Jasa Marga.
Mungkin Bu Rini anggap Refly sangat paham soal tol karena setiap hari melalui macet--persoalan yang Pak Jokowi katakan dulu akan lebih mudah menyelesaikannya sebagai presiden ketimbang sebagai Gubernur DKI--dari rumahnya (Refly) di Buaran sana.
Mas Yanuar, sebagai anggota DPR pendukung pemerintah dan Insya Allah punya peran (meski sangat kecil) terhadap kemenangan Jokowi-JK, saya ingin kalian di Istana fokus pada tugas yang lebih membumi.
Misalnya, jangan biarkan kami di DPR dihajar bagai sand zak (karung latihan tinju) oleh orang-orang Prabowo dalam kasus kebaikan tunjangan mobil pejabat, misalnya, hanya karena kalian tak mampu berkomunikasi dengan kami di DPR (atawa parpol pendukung).
Ini juga satu soal sendiri karena terbaca dengan kuat kalau kalian di ring 1 presiden kini sukses melakukan deparpolisasi dan atau gagal meyakinkan publik akan seluruh keputusan-keputusan presiden/pemerintah.
Soal sesepele ini tak perlu kualitas Harvard. Saya merasa mengenal beberapa orang di Istana Negara tempat Anda berkantor sekarang. Entah apa mereka (masih) mengenal saya sekarang. Tapi saya nggak memikirkannya.
Saya hanya minta kalian disana berhenti melakukan hal yang tak perlu seperti deklarasi soal Harvard yang akan masuk Istana itu.
Sekali lagi, saya sebenarnya tak perlu menulis panjang lebar seperti ini hanya untuk menanggapi soal Harvard ini.
Tapi saya harus lakukan sebagai berikut; menurutku kalian makin jauh dari seluruh rencana awal kita. Dan sayangnya, seluruh rencana awal itu saya pahami dan terlibat di dalamnya.
Saya sekuat mungkin berusaha menghindari kalimat-kalimat keras untuk memahami apa yang kalian lakukan di sana. Tapi sepak terjang kantor Mas Yanuar bernama Kastaf Kepresidenan itu makin jauh.
Terakhir, saya sarankan agar menahan diri dalam memberikan masukan ke presiden. Jangan racuni pikiran presiden yang polos ini dengan permainan yang dulu kami hindarkan beliau lakukan meski kadang gregetan lihat langkah-langkah tim Prahara.
Terkhusus dengan Pak Jusuf Kalla (JK), saya minta kalian berikan rasa hormat.
Tanggal 9 Juli lalu, 53% penduduk Indonesia memilih Jokowi-JK dan bukan Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan.
Apalagi Anda-Anda yang bergabung belakangan.
Selamat berakhir pekan.
Jakarta, Sabtu, 4 April 2015