Berita
Oleh M Anwar pada hari Senin, 03 Sep 2018 - 16:51:43 WIB
Bagikan Berita ini :

Syafruddin Temenggung Dituntut 15 Tahun Penjara

95syafruddin2.jpg.jpg
Syafruddin Arsyad Temenggung (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin ArsyadTemenggung dituntut 15 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Ia diduga melakukan penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki Sjamsul Nursalim sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.

"Supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan menyatakan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Haerudin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (3/8/2018).

JPU juga menyebutkan sejumlah hal yang memberatkan dalam perbuatan Syafruddin.

"Hal yang memberatkan, terdakwa merupakan pelaku yang aktif dan melakukan peran yang besar dalam pelaksanaan kejahatan, pelaksanaan kejahatan menunjukkan adanya derajat keahlian dan perencanaan lebih dulu, akibat perbuatan terdakwa telah menimbulkan kerugian negara yang cukup besar dan terdakwa tidak mengakui secara terus terang dan tidak menyesali perbuatannya," tambah jaksa Haerudin.

Dalam surat tuntutannya, JPU mengatakan ada kehendak yang sama antara Syafruddin, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim untuk menghilangkan hak tagih negara dalam hal ini BPPN kepada SJamsul Nursalim dengan cara menghapus piutang BDNI kepada petambak PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) yang ditindaklanjuti Syafruddin dengan menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meski SJamsul belum menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana yan gdijanjikan dalam Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).

"Kehendak itu direalisasikan dengan cara kerja sama yang erat dan disadari oleh Syafruddin Arsyad Temenggung, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nurslaim dan Itjih S Nursalim untuk menyatakan Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi atas piutang BDNI kepada petambak PT DCD dan PT WM sehingga Sjamsul dianggap memenuhi kewajiban dalam MSAA," ungkap jaksa.

BDNI milik Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).

BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp 47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.

Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp 18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp 4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).

Dari jumlah Rp 4,8 triliun itu, sejumlah Rp 1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp 3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.

Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp 1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagihmenjadi Rp 1,9 triliun berdasarkan kurs Rp 7.000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.

Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang sustainable dan unstainable adalah Rp 3,9 triliun dengan kurs Rp 8.500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp 2,8 triliun.

Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp 1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp 100 juta/petambak dikalikan 11 ribu petambak dari tadinya utang Rp 135 juta/petambak.

Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp 220 miliar karena Rp 880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp 4,8 triliun menjadi tinggal Rp 220 miliar atau negara dirugikan Rp 4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.(yn/ant)

tag: #kasus-blbi  #korupsi-blbi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement