JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Tsunami kembali menghantam negeri ini, setelah terjadi di Palu tsunami kembali menghantam wilayah Indonesia lainnya, Banten dan Lampung. Walhasil, ratusan orang meninggal dan ribuan lainnya terluka.
Bancana gempa dan tsunami harusnya sudah sangat akrab dengan bangsa ini. Pasalnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang berada dalam Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik bersama Selandia Baru, Filipina, Jepang, Alaska, Meksiko, dan Guatemala. Akibatnya Indonesia memiliki gunung-gunung berapi yang aktif yang juga mempunyai potensi gempa dan tsunami.
Harusnya pada tsunami-tsunami sebelumnya bangsa ini sudah memperoleh banyak pelajaran,setidaknya dalam meminimalisir dampak bencana. Karena yang namanya bencana, merupakan kekuasaan Ilahi yang tidak bisa ditolak. Ya, gempa besar bahkan tsunami telah beberapa kali terjadi di negeri ini.
Pada 2004 misalnya gempa besar berkekuatan 9,1 SR terjadi di pantai barat provinsi Aceh di Sumatra utara pada 26 Desember, gempa yang memicu tsunami dan melanda 14 negara ini menewaskan 226.000 orang di sepanjang garis pantai Samudera Hindia, lebih dari setengah korbannya bahkan berada di Aceh.
Lalu pada 2005 serangkaian gempa kuat melanda pantai barat Sumatra pada akhir Maret dan awal April. Ratusan orang tewas di Pulau Nias, di lepas pantai Sumatra.
Kemudian pada 2006 gempa berkekuatan 6,8 SR melanda selatan pulau Jawa, gempa tersebut memicu tsunami yang memporakporandakan pantai selatan dan menewaskan hampir 700 orang.
Tiga tahun berselang pada 2009 gempa berkekuatan 7,6 SR melanda dekat kota Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat. Lebih dari 1.100 orang tewas.
Setahun berikutnya aau pada 2010 gempa berkekuatan 7,5 SR melanda salah satu pulau Mentawai, di lepas pantai Sumatra, memicu tsunami hingga 10 meter yang menghancurkan puluhan desa dan menewaskan sekitar 300 orang.
Kemudian pada 2016 gempa dangkal menghantam Kabupaten Pidie Jaya di Aceh, menyebabkan kehancuran dan kepanikan saat orang-orang dilanda trauma kehancuran akibat gempa dan tsunami 2004 yang mematikan. Beruntung tidak ada tsunami, tetapi gempa menyebabkan lebih dari 100 tewas tertimbun bangunan runtuh.
Tak berhenti di situ, pada 2018 gempa bumi besar melanda pulau wisata Indonesia, Lombok, gempa Lombok menewaskan lebih dari 500 orang yang sebagian besar merupakan penduduk yang tinggal di sebelah utara pulau tersebut.
Masih dari 2018 lebih dari 2.000 orang tewas oleh gempa bumi dan tsunami yang dahsyat yang melanda kota Palu, di pantai barat pulau Sulawesi. Salah menyalahkan pun terjadi, salah satunya dengan menyalahkan BMKG yang dinilai tidak memberikan peringatan dini akan terjadinya tsunami.
BMKG pun meradang, melalui sang Kepala, Dwikorita Karnawati membantah pihak-pihak yang menyalahkan BMKG. Pasalnya. menurut Dwikorita, tsunami yang terjadi pada Sabtu 22 Desember 2018 lalu tersebut lebih terjadi akibat gempa vulkanik yang tidak bisa dideteksi.
"Selama ini peringatan dini kami berikan dari 3-5 menit. Di negara lain itu sampai 15 menit. Di Jepang itu 3 menit, kita bahkan pernah 2 menit 40 detik. Selama ini peringatan dini itu disampaikan," ujar Dwi belum lama ini.
Untuk itu, Dwikorita mengatakan untuk mengantisipasi bencana alam yang terjadi membutuhkan dukungan dari semua pihak agar pihaknya memiliki alat sensor yang canggih untuk mendeteksi bencana alam.
"Di tahun 2018 Indonesia mengalami kejadian bencana alam di luar kondisi normal, seperti kejadian likuifaksi dan tsunami di Selat Sunda. Tentunya ini membutuhkan dukungan dari pemerintah dalam penanggulangan bencana seperti alat sensor dan jaringan-jaringan pengamatan lainnya," kata dia lagi.
Selain itu, BMKG dikatakan Dwikorita akan memasang 1.812 perangkat mitigasi bencana yang akan disebar di wilayah rawan bencana.
"Kami sudah menentukan zona-zona rentan. Total seluruhnya tidak hanya sensor, namun termasuk buoy, radar, dan lainnya," tegasnya.
Selain itu, inovasi Sumber Daya Manusia (SDM) juga sangat dibutuhkan terutama kepada masyarakat agar lebih waspada terhadap bencana gempa.
"Inovasi ini tidak hanya struktur, tapi juga kultur. Jadi sumber daya manusianya dan budayanya," ujarnya.
Dwikorita melanjutkan, BMKG serta kementrian atau lembaga terkait yang menangani bencana alam terus melakukan koordinasi agar langkah antisipasi penanganan bencana dapat dilakukan secara baik. Seperti halnya pemasangan alat pendeteksi tsunami atau yang lebih dikenal dengan sebuatan Buoy.
Walhasil tercetuslah wacana proyek pengadaan buoy pendeteksi tsunami dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) sebagai upaya memitigasi bencana.
“Buoy ini sangat penting sebagai peringatan dini, agar penduduk di wilayah berpotensi tsunami, memiliki waktu untuk dapat evakuasi ke shelter terdekat " kata Hammam Riza, Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT baru-baru ini.
Hanya saja memang, kata Riza, untuk satu unitnya saja termasuk pemasangan dan pemeliharaan bisa menghabiskan dana hingga Rp5 miliar.
"Kita gunakan panel tenaga surya untuk sumber tenaganya, serta kita upayakan semua sensornya lengkap kembali. Butuh waktu, semoga dengan adanya dana khusus bisa lebih cepat prosesnya hingga pemasangan," kata dia lagi.
Lebih jauh, Riza menuturkan, buoy akan dipasang di jarak 100-200 kilometer dari bibir pantai. Alat tersebut nantinya dapat mengirim data terbaru ketika terdapat gelombang tinggi di tengah laut yang diduga berpotensi tsunami.
Hitungannya jika kecepatan gelombang tsunami antara 500-700 kilometer per jam, minimal ada waktu sekitar 10-15 menit untuk evakuasi masyarakat ke shelter terdekat.
"Sinyal dari buoy di tengah laut itu akan semakin intens, mengirimkan sinyal ke pusat data early warning system secara real time, jika ada gelombang yang melewatinya," ujarnya.
Selain itu, BPPT bakal memasang kabel bawah laut atau cable based tsunameter (CBT). Sifatnya akan saling melengkapi dengan buoy, sehingga deteksi tsunami akan semakin akurat. CBT telah dikembangkan di beberapa negara, seperti Kanada, Jepang, Oman, dan Amerika Serikat. BPPT menyatakan telah menyiapkan kabel sepanjang tiga kilometer.
"Semakin tinggi dan kencang gelombang, maka sinyal yang dikirim frekuensinya akan semakin rapat dan bisa berkali-kali dalam hitungan detik," jelasnya.
DPR Vs Menkeu
Sebelumnya, seperti diberitakan Teropong Senayan 24 Desember silam, Anggota Komisi V DPR RI Bambang Haryo Soekartono menyebut Sri Mulyani lah yang harus bertanggung jawab atas peristiwa bencana alam di Selat Sunda.
Menurut Bambang, hal itu lantaran anggaran BMKG dalam APBN 2018 dipotong. Akibatnya BMKG tidak mempunyai alat pendeteksi dini tsunami.
Diserang soal alat pendeteksi tsunami, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, malah mempertanyakan soal anggaran bukanlah sebagai salah satu penyebab yang membuat sistem peringatan dini tsunami tak efektif.
“Ini bukan soal pemotongan anggaran yang kecil. Kita tidak sepatutnya mengalihkan perhatian pada hal itu," ucap Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Pasalnya, menurut dia yang membuat alat pendeteksi tsunami tidak mampu bekerja efektif lebih disebabkan karena rusak atau hilang karena manajemen pemeliharaan dan penjagaan yang tidak bagus.
"Kalau mengenai masalah penanganan bencana itu semua dikoordinasikan. Nanti kita akan ikuti apa yang menjadi koordinasi dari penanganan keseluruhan bencana," katanya lagi.
Meski begitu, Sri Mulyani menyatakan pihaknya akan terus mengevaluasi anggaran dan tak menutup kemungkinan untuk meningkatkan besarannya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Askolani mengatakan, untuk penanganan bencanatsunami Banten dan Lampung. pemerintah tahun ini menganggarkan dana cadangan bencana sebesar Rp 3,3 triliun.
Menurutnya, saat ini besaran dana penanggulangan tsunami Banten dan Lampung akan dipenuhi terlebih dulu dari yang masih ada di kas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Apabila membutuhkan tambahan, Kemenkeu akan menunggu usulan besaran dari pihak BNPB.
Dengan begitu artinya masih ada kemauan untuk bersama-sama menanggulangi bencana. Ya, dengan bersinerginya masing-masing lembaga diharapkan bencana yang ada tidak lagi menelan banyak korban jiwa. Semoga… (ahm/baril/dra/ake)