JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, besaran tarif Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta harus memperhatikan kemampuan membayar konsumen.
Bahkan, lanjut Tulus, harus ada gambaran konkrit tentang alokasi anggaran, atau belanja transportasi calon konsumen MRT, dari total pengeluaran dan pendapatannya. Sebab, MRT Jakarta akan mengukuhkan kota Jakarta sebagai kota modern, sejajar dengan kota-kota modern lain di dunia.
"Salah satu ciri kota modern adalah eksistensi sarana transportasi masal, seperti MRT. Namun, ironisnya hingga saat ini belum ada kesepahaman berapa tarif yang akan disepakati, antara Pemprov DKI dengan DPRD DKI," kata Tulus, kepada teropongsenayan, di Jakarta, Senin (18/3/2019).
Tulus menjelaskan, Pemprov DKI telah mengusulkan tarif MRT sebesar Rp 10.000 dan Light Rail Transit (LRT) sebesar Rp 6.000. Namun DPRD belum menyepakati besaran tarif tersebut. Jika tarif yang diusulkan tersebut disepakati, Pemprov DKI akan menggelontorkan subsidi yang sangat signifikan, bahkan lebih dari 60 persen tarif MRT dan LRT adalah tarif subsidi.
"Pasalnya dengan usulan tarif Rp 10.000/penumpang maka subsidinya sebesar Rp 21.659. Bahkan untuk LRT, dengan tarif Rp 6.000, subsidinya akan mencapai Rp 31.659. Dengan asumsi 65 ribu penumpang per hari, maka total subsidi MRT mencapai Rp 572 miliar per tahun, dan Rp 327 miliar untuk LRT," jelasnya.
Sehingga, dalam pandangan YLKI, besaran tarif MRT harus benar-benar memperhatikan aspek ability to pay atau kemampuan membayar konsumen. Hal ini harus didukung dengan hasil survei yang komprehensif dan meyakinkan. Tanpa memerhitungkan aspek kemampuan membayar konsumen, maka MRT Jakarta akan ditinggal konsumennya, alias tidak laku.
"Namun kemampuan membayar ini harus dielaborasi, siapakah mayoritas pengguna MRT? Pemprov juga harus punya data, untuk tujuan apa konsumen memilih menggunakan MRT? Jika tujuannya karena faktor kenyamanan dan efisiensi waktu tempuh maka tarif Rp 10.000 juga masih make sense," paparnya.
Di sisi yang lain, Tulus kembali menekankan, bahwa managemen MRT Jakarta harus mengeksplorasi pendapatannya, bukan hanya mengandalkan pendapatan tiket saja. Sebab tidak mungkin revenue dari tiket mampu menutup keseluruhan biaya operasional dan apalagi investasi.
Menurutnya, Managemen PT MRT Jakarta harus kreatif dan cerdas untuk menggali pendapatan dari aspek komersial lainnya seperti sewa lahan, bisnis di area TOD, dan promosi atau iklan. Asal jangan produk tembakau, alias iklan rokok.(plt)