Opini
Oleh Refrinal (Praktisi Riset Pemasaran dan Strategi) pada hari Jumat, 29 Mar 2019 - 00:56:57 WIB
Bagikan Berita ini :

Quo Vadis Rhenald Khasali

tscom_news_photo_1553795817.jpg
Rhenald Kasali (kiri) dan Rocky Gerung (kanan) saat berdebat panas di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (26/3/2019) malam. (Sumber foto : Ist)

Semasa kuliah dulu, saat mengambil magister dengan kosentrasi di bidang Manajemen Strategi dan Portofolio Bisnis, saya membaca beberapa buku-buku Rhenald Khasali (RK) dan berbagai tulisan beliau.

Sebagai pembelajar sekaligus praktisi bidang pemasaran dan strategi, saya tak menemukan hal baru apapun yang beliau sampaikan dalam buku-buku tersebut, pun tulisannya, kecuali menciptakan kata-kata baru yang bahkan tidak similar dan tidak koheren, dan seluruhnya out of the box, karena beliau pun bahkan sama sekali tidak pernah mengalami dan merasakannya, dan hanya berfikir, merenung, menemukan kata dan menulisnya, persis seperti meringkas buku-buku dan membuat buku baru dengan desain cover yang mentereng.

Dalam banyak hal dia selalu memposisikan dirinya sebagai seorang bengawan, yang harus didengar dan apapun yang dia sampaikan adalah rujukan, namun jika pendengarnya adalah kalangan praktisi maka seluruhnya terignore karena tidak teruji secara praktikal.

Banyak hal janggal yang beliau sampaikan namun tetap bertahan dengan kejanggalan, dan banyak kekacauan data yang beliau miliki, seperti jumlah APBD jakarta saja salah fatal, tentang shift dari offline ke online dimana beliau tidak tahu bahwa sampai saat ini transaksi online sharenya kurang 1 persen dibandingkan transaksi offline yang sharenya lebih dari 99 persen. Serta masih banyak hal lain yg hanya berupa asumsi-asumsi tanpa referensi atau rujukan. Demikianpun ulasan beliau tentang kondisi perekonomian nasional yang sangat kacau menggambarkan kegagalan dia membaca dan menangkap realita.

Kejadian di ILC semalam cukup menjawab betapa pongahnya RK itu, salah namun bertahan dalam kesalahan dan mengawali perdebatan dengan merendahkan seluruh pendapat orang yang justru jauh lebih valid dan lebih logic dibanding apa yang dia sampaikan.

Hal mendasar seperti asal usul hoax saja beliau tidak paham dan dengan serampangan menyatakan RG salah dan disuruh membaca. Hal yang justru terbalik, sekelas professor justru gagal memiliki pemahaman mendasar untuk hal yang sangat mudah dipahami dan literaturnya banyak.

Peristiwa hoax pertama kali muncul yang disampaikan RG adalah peristiwa ilmiah yang dibahas di mana-mana bahkan dikampus terkenal di dunia ini seperti harvard, oxford, stamford dan lainnya, sedangkan Rhenald dengan keyakinannya hanya mampu menyampaikan bahwa kata hoax berasal dari kata Hoacus. Betapa minimnya literacy beliau, lalu bagaimana dengan buku-bukunya? Jangan-jangan mengalami hal yang sama, penuh dengan sesat pikir dan sesat logika yang dikemas dengan penyampaian retorik.

Rhenald mungkin selalu menganggap orang selain dia adalah bodoh atau tak ada pemahaman setinggi pemahaman yang dia miliki dan itu adalah kelemahan terbesarnya. Namun Rhenald lupa bahwa para praktisi ataupun akademisi milenial sekalipun, dengan mudah menemukan kekeliruan berfikir Rhenald, namun sayangnya dia tidak pernah membuka diri untuk menerima kenyataan bahwa dia salah, bahkan cenderung mencari pembenaran dan menyerang orang di depan umum dengan menunjukkan wajah yang meremehkan.

Namun sesungguhnya dia galau dan cemas karena waktu menunjukkan, bahwa ternyata sangat banyak orang yang lebih cerdas dari dia, membahas segala sesuatunya base on experience dan disertai dengan konklusi-konklusi, berbeda dengan Rhenald yang terus menerus berwacana tak berujung.

Pada ILC semalam saya melihat Rhenald lebih cocok sebagai seorang politisi dibanding akademisi, karena secara etika dan moralitas beliau jauh dari kesan seorang akademisi dan inteletual. Pendebat yang gagal dan gagap menyampaikan pikirannya dan dia menjadikan arena ILC untuk mendengarkan kuliahnya yang membosankan, miskin data dan bahkan tanpa analogi sama sekali.

Dan jika seorang akademisi yang memposisikan dirinya sebagai seorang bengawan melakukan kesalahan sefatal itu, lalu kemana lagi bangsa ini akan merujuk? (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Populisme Jokowi dan Runtuhnya Demokrasi

Oleh Lukas Luwarso (Antusiasawan Sains)
pada hari Senin, 25 Nov 2024
Demokrasi runtuh bukan karena munculnya orang kuat dan kharismatik, melainkan karena keroposnya struktur etika-masyarakat, spesifik aparat pemerintahan, yang menopangnya.  Miskonsepsi ...
Opini

Alasan Anies

Siapa yang menyangka, panggung politik Indonesia kembali menyuguhkan lakon komedi penuh intrik di Pilkada Jakarta 2024? Dari Megawati yang dulu melontarkan ucapan pedas ke Anies Baswedan, ...