Opini
Oleh Andi Rahmat, Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI pada hari Tuesday, 07 Apr 2020 - 09:51:00 WIB
Bagikan Berita ini :

Saatnya Sektor Informal Menjadi Perhatian Utama

tscom_news_photo_1586227870.jpg
Andi Rahmat, Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI (Sumber foto : Ist)

Terdapat satu pokok persoalan dalam berbagai kebijakan penanganan krisis ekonomi di Indonesia. Sejak 1998, porsi perlakuan terhadap ekonomi informal tidak sebanding perlakuan terhadap ekonomi formal. Sebab musababnya berhubungan dengan mindset kebijakan. Dalam situasi krisis, sektor informal lebih banyak didekati dengan pendekatan “charity”. Porsinya lebih merupakan bantuan sosial” ketimbang pendekatan ekonomi yang lebih komprehensif.

Itulah intinya. Kali ini, perlakuan terhadap sektor informal semenjak awal semestinya dimulai dari mindset pendekatan kebijakan ekonomi yang komprehensif. Itulah yang saya maksudkan sebagai pengarusutamaan. Dalam salah satu artikel di Bloomberg (3/04/2020), Adam Winter menggambarkannya sebagai berikut,” The World most vulnerable workers are easy to overlooks at the best of times. In the midst of global pandemic, they need to be seen and heard more than ever”.

Statistik 2019 menunjukkan, Ekonomi informal mempekerjakan tidak kurang dari 70,49 juta orang pekerja informal atau sekitar 55, 72% dari total pekerja nasional. Ekonomi Formal mempekerjakan 56,2 juta orang atau sekitar 44, 28% total pekerja nasional. Dalam 8 tahun terakhir, pertumbuhan pekerja formal memang meningkat trennya seiring dengan perluasan ekonomi formal. Pertumbuhan rata-rata tahunan sektor pekerja formal sejak 2012 berkisar antara 3-4%/ tahun. Sekalipun demikian arti penting perekonomian informal ini tetap tidak tergantikan.

Bagaimana wujud pengarus-utamaannya?. Sebelum menjawabnya. Saya ingin membatasi pengertian Ekonomi Informal ini dengan merujuk pada makalah Dr. Suahasil Nazara dalam “ Ekonomi Informal di Indonesia; Ukuran, Komposisi dan Evolusi” ( ILO,2010). Pengertiannya tidak hanya yang terdapat dalam pendefinisian versi BPS, yang lebih dekat kepada aspek ketenagakerjaan, tapi juga “memiliki spektrum yang sangat luas, mencakup..aspek legalitas, status kerja, teknologi yang digunakan, penghasilan dan produktivitas, bahkan kontribusi politik”( Suahasil Nazara, Idem, Hal 8).

Kembali kepada pertanyaan bagaimana wujud pengarus utamaannya. Yang pertama, skala “keberpihakan kebijakan”. Ini merujuk kepada seberapa besar porsi alokasi yang diberikan oleh negara kepada sektor ini dalam produk kebijakan ekonominya. Makin besar alokasinya, baik dalam jumlah absolutnya, maupun persentase proporsinya, makin besar pula nilai pengarus utamaannya.

Tidak berhenti disitu. Tanpa model alokasi dan transmisi yang tepat, jumlah yang besar tidak akan memberi manfaat yang besar juga. Ini yang kedua. Tantangannya adalah bagaimana membangun suatu model yang tepat itu. Tidak harus sempurna, tetapi model tersebut dapat dievaluasi dan diperbaiki dalam prosesnya.

Bercermin dari apa yang terjadi di Amerika Serikat. Ketidaksiapan institusi keuangan dalam mengalokasikan $380 Billion untuk sektor UKMnya menyebabkan prosesnya menjadi lamban dan berbelit. Padahal sistem dan pendataan mereka jauh lebih baik dari yang kita punya.

Karena itu kerangka kerja dari model alokasinya setidaknya meliputi tiga kriteria ini. Yang pertama, memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga keuangan, baik bank maupun non bank. Semua jenis bank, terutama yang memiliki akses kepada sektor ini seperti BPR, BMT, LKM, Koperasi dan jangan lupa, lembaga Fintek. Agar koheren antara regulasi dan proses eksekusinya, diperlukan satu unit kerja yang intinya terdiri dari Kemenkeu, BI, OJK, kemenkop dan UMKM. Sepanjang tidak menimbulkan birokrasi baru, Kementerian Dalam Negeri perlu juga untuk dilibatkan. Mengingat Infrastruktur pemerintah daerah yang cukup kuat dalam menyediakan data dan memvalidasi data.

Kriteria kedua, ini terkait dengan dengan satu teori yang menghubungkan antara sektor formal dengan sektor informal, dimana sektor informal merupakan pelengkap dan penunjang sektor formal. Teori ini memastikan tumbuhnya sektor informal di sekitar pusat-pusat perekonomian. Kriteria ini akan memastikan sektor informal yang tumbuh di lingkungan ini akan tetap eksis dalam melewati masa krisis dan bisa berusaha kembali. Sekaligus juga sebagai basis elaborasi data yang terfokus. Mereka yang sudah eksis sebelum krisis ini terjadi dipastikan akan tetap bisa eksis karena campur tangan kebijakan. Saya menyebut kriteria kedua ini dengan istilah “menjaga yang sudah ada“

Kriteria ketiga, pengelolaan risiko. Dalam setiap kebijakan besar, baik luasan cakupannya maupun besaran anggarannya, selalu ada resiko penyimpangan didalamnya. Penyimpangan yang saya maksudkan berhubungan dengan efektifitas dan alokasi. Apalagi yang dilakukan dalam situasi yang serba darurat.

Pengalaman dalam pengelolaan kredit mikro, KUR dan semacamnya bisa membantu dalam hal ini. Pengambil kebijakan tidak perlu ragu terhadap risiko sektor ini.

Pola dan Waktu yang tepat juga akan menentukan wujud “pengarusutamaan”. Setelah besaran anggaran tersedia, model transmisi dan alokasi dibentuk, tantangan berikutnya adalah menentukan pola dan waktu yang tepat. Karena perlakuannya tidak lagi sekedar sebagai “charity policy”, melainkan pendekatan kebijakan ekonomi yang lengkap, maka pola dan waktunya juga lengkap.

Dalam perpu yang dirilis pemerintah, penanganan risiko pandemi berikut dampaknya dapat memakan waktu hingga 2022. Karena itu, pola dan waktunya juga disebar mengikuti itu.

Pada saat ini, yang terpenting adalah mengumpulkan data dan memvalidasi data pelaku sektor informal. untuk itu, di dalam paket stimulus pemerintah yang baru dirilis, selayaknya terdapat alokasi yang signifikan untuk melakukan validasi data ini. Pengalaman kita dalam melakukan ini cukup banyak. Mulai dari pemastian data penerima BLT, penerima subsidi Raskin dan lain sebagainya.

Selanjutnya, pada saat ekonomi mulai bergerak kembali, sektor ini pun kembali bergerak. Pembahasan APBN tahun 2021 yang dimulai dengan Nota Keuangan Presiden pada bulan Agustus nanti dianjurkan untuk mengadopsi “ pengarusutamaan” ini. Cermin alokasinya sudah selayaknya juga optimal. Jika perlu, terbitkanlah Obligasi Sektor Informal. Tujuannya agar pelebaran defisit menjadi bermakna bagi rakyat luas.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #kementerian-koperasi-dan-ukm  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Runtuhnya Mitos Kependekaran Politik Jokowi

Oleh Oleh: Saiful Huda Ems (Advokat, Jurnalis dan Aktivis 1998)
pada hari Jumat, 22 Nov 2024
Ternyata lebih cepat dari yang banyak orang perkirakan, bahwa kependekaran semu politik Jokowi akan tamat  riwayatnya di akhir Tahun 2024 ini. Jokowi yang sebelumnya seperti Pendekar Politik ...
Opini

Selamat Datang di Negeri Para Bandit

Banyak kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat berpendapat menengah bawah.  Kejahatan ...