JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut Rabu (3/3/2021) sebagai hari paling berdarah sejak kudeta terjadi di Myanmar satu bulan lalu. Seperti dikutip dari BBC, sedikitnya 38 orang tewas dalam demonstrasi di Myanmar.
Utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan, ada rekaman yang menunjukkan pasukan keamanan menembak demonstran dengan peluru tajam. Sejak kudeta dimulai, menurutnya total korban tewas telah mencapai sedikitnya 50 orang.
Gejolak Panjang Sipil Militer
Myanmar dikenal sebagai Burma, yang terletak di Asia Tenggara. Negara ini bertetangga dengan Thailand, Laos, Bangladesh, Cina dan India. Burma memiliki populasi sekitar 54 juta dengan kota terbesar adalah Yangon (Rangoon), tetapi ibukotanya terletak di Nay Pyi Taw.
Agama utamanya adalah Budha. Ada banyak kelompok etnis di negara ini, termasuk Muslim Rohingya.
Negara ini memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948. Negara ini diperintah oleh angkatan bersenjata dari tahun 1962 hingga 2011. Myanmar memasuki era baru berupa pemerintahan sipil di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi.
Ia menjadi terkenal di dunia pada tahun 1990-an karena berkampanye untuk memulihkan demokrasi.
Dia menghabiskan hampir 15 tahun dalam penahanan antara tahun 1989 dan 2010, setelah mengorganisir demonstrasi yang menyerukan reformasi demokrasi dan pemilihan umum yang bebas.
Dia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991 saat menjalani tahanan rumah.
Pada 2015, ia memimpin NLD meraih kemenangan dalam pemilihan umum pertama Myanmar yang diperebutkan secara terbuka dalam 25 tahun.
Namun reputasi Suu Kyi sangat menurun tajam akibat perlakuan Myanmar terhadap minoritas muslim Rohingya. Myanmar menganggap mereka imigran ilegal dan menyangkal kewarganegaraan mereka. Selama beberapa dekade, banyak yang telah meninggalkan negara itu untuk menghindari penganiayaan.
Ribuan orang Rohingya terbunuh dan lebih dari 700.000 melarikan diri ke Bangladesh setelah tindakan keras tentara pada tahun 2017.
Suu Kyi muncul di hadapan Mahkamah Internasional pada 2019, di mana dia membantah tuduhan bahwa militer telah melakukan genosida.
Kekuasaan Suu Kyi akhirnya berakhir. Militer merebut kendali pada 1 Februari setelah pemilihan umum yang dimenangkan oleh partai NLD Suu Kyi dengan telak.
Angkatan bersenjata telah mendukung oposisi, yang menuntut pemungutan suara ulang, dan mengklaim penipuan yang meluas.
Komisi pemilihan mengatakan tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.
Kini Militer mengambil alih kekuasaan dan telah mengumumkan keadaan darurat selama setahun.
Min Aung Hlaing adalah pemimpin kudeta. Dia telah menerima kecaman dan sanksi internasional atas dugaan perannya dalam serangan militer terhadap etnis minoritas.
Dalam komentar publik pertamanya setelah kudeta, Jenderal Hlaing berusaha untuk membenarkan pengambilalihan tersebut. Ia mengatakan militer berada di pihak rakyat dan akan membentuk "demokrasi yang benar dan disiplin".
Militer mengatakan akan mengadakan pemilihan yang "bebas dan adil" setelah keadaan darurat selesai.
Sikap militer menimbulkan protes atas kudeta tersebut merupakan yang terbesar sejak apa yang disebut Revolusi Saffron pada tahun 2007, ketika ribuan biksu bangkit melawan rezim militer.Para pengunjuk rasa termasuk guru, pengacara, pelajar, pejabat bank, dan pegawai pemerintah.
Militer telah memberlakukan pembatasan, termasuk jam malam dan batas pertemuan.
Pasukan keamanan telah menggunakan meriam air, peluru karet dan peluru tajam untuk mencoba membubarkan pengunjuk rasa.
Suu Kyi yang menjalani tahanan rumah dan muncul di pengadilan melalui tautan video, didakwa memiliki walkie-talkie ilegal, melanggar pembatasan Covid-19 selama kampanye pemilu tahun lalu dan menerbitkan informasi yang dapat "menimbulkan ketakutan atau kekhawatiran".
Meski Suu Kyi mungkin bukan pemimpin ideal untuk kemanusiaan, banyak negara mengutuk pengambilalihan militer tersebut. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengatakan itu adalah "pukulan serius bagi reformasi demokrasi". AS dan Inggris telah menanggapi dengan sanksi terhadap pejabat militer.
Namun, China memblokir pernyataan Dewan Keamanan PBB yang mengutuk kudeta tersebut. Beijing, yang sebelumnya menentang intervensi internasional di Myanmar, mendesak semua pihak untuk "menyelesaikan perbedaan".
Sikap negara ASEAN berusaha netral. Tetangga termasuk Kamboja, Thailand dan Filipina, dan Indonesia mengatakan itu adalah "masalah internal".