Proyek pagar laut di Tangerang yang saat ini tengah menjadi sorotan publik tak hanya menyisakan kontroversi soal dampaknya terhadap lingkungan, tetapi juga menyentuh aspek hukum yang serius. Kebijakan yang mendasari reklamasi ini, yang terhubung erat dengan UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, menghadirkan potensi pelanggaran pidana dan perdata yang memerlukan perhatian khusus.
Reklamasi Laut dan UU Cipta Kerja: Kebijakan yang Menjadi Celah Penyalahgunaan
Pada tahun 2020, UU Cipta Kerja disahkan dengan tujuan untuk mendorong percepatan pembangunan dan menciptakan lapangan kerja. Namun, dampak dari kebijakan ini, khususnya pada sektor pengelolaan tanah dan reklamasi laut, memicu kontroversi. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja memberikan ruang bagi pemegang hak atas tanah yang musnah akibat reklamasi untuk melakukan rekonstruksi atau reklamasi ulang dengan prioritas atas tanah tersebut, bahkan dengan bantuan dana kerohiman jika diperlukan.
Kebijakan ini kemudian berpotensi membuka celah bagi praktik bisnis yang tidak sehat, terutama di kawasan reklamasi seperti di sekitar proyek pagar laut Tangerang. Di sinilah mulai muncul dugaan adanya manipulasi status tanah yang semula berstatus girik atau letter C menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah, yang selanjutnya dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi. Proses ini dinilai bisa melibatkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merugikan negara dan masyarakat.
Praktik Bisnis yang Merugikan: Pengurusan Sertifikat Tanah dan Potensi Korupsi
Salah satu perusahaan yang terlibat dalam proyek reklamasi ini, PT Intan Agung Makmur (IAM), diketahui menguasai sejumlah besar sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di sekitar kawasan tersebut. Menariknya, IAM memiliki hubungan erat dengan beberapa tokoh penting, termasuk Freddy Numberi, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan.
Sebagian besar tanah yang menjadi objek reklamasi sebelumnya adalah lahan daratan yang terkena abrasi dan kemudian menjadi bagian dari kawasan reklamasi. Ketidakjelasan status tanah ini menambah kompleksitas kasus, karena meskipun pemerintah memberikan prioritas untuk pemegang HGB yang terlibat dalam reklamasi, proses ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan pihak lain yang tidak terlibat.
Penyelidikan dan Tindakan Hukum: Apa yang Perlu Dilakukan?
Berbagai lembaga negara, termasuk Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah mulai menyelidiki dugaan pelanggaran hukum dalam proyek ini. Kejaksaan Agung telah melakukan penyelidikan terkait potensi tindak pidana, sementara DPR membentuk panitia khusus untuk menelusuri lebih dalam praktik yang terjadi.
Namun, penyelidikan pidana saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar. Dampak dari kebijakan ini perlu dianalisis lebih jauh, terutama terkait dengan potensi pelanggaran perdata. Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh perubahan status tanah atau akibat reklamasi yang dilakukan tanpa izin yang sah, bisa saja mengajukan gugatan perdata untuk memperoleh ganti rugi atau pembatalan transaksi yang merugikan mereka.
Analisis Dampak Pelanggaran Pidana dan Perdata
Pelanggaran pidana yang mungkin timbul dalam kasus ini, antara lain korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan penggelapan tanah. Jika terbukti ada pejabat yang terlibat dalam proses yang tidak sah atau melakukan tindakan yang merugikan negara, mereka dapat dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di sisi lain, dampak perdata bisa dirasakan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan, seperti pemilik tanah yang sah atau masyarakat yang terdampak oleh reklamasi. Gugatan perdata bisa mencakup tuntutan ganti rugi atas kerugian material maupun immaterial yang ditimbulkan akibat proyek ini.
Revisi Kebijakan dan Solusi yang Diperlukan
Untuk memastikan bahwa proyek seperti ini tidak menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat, ada dua langkah yang perlu diambil. Pertama, evaluasi terhadap kebijakan yang mendasari proyek reklamasi harus dilakukan, baik melalui penyelidikan lebih lanjut mengenai potensi korupsi maupun melalui revisi atau pembatalan PP yang memungkinkan terjadinya praktik reklamasi yang merugikan.
Kedua, diperlukan dialog terbuka antara pemerintah, masyarakat, dan sektor bisnis untuk mencari solusi yang adil dan transparan. Kebijakan yang diambil harus memastikan bahwa pembangunan dilakukan dengan prinsip keberlanjutan dan memperhatikan kepentingan rakyat banyak.
Kesimpulan
Kasus proyek pagar laut Tangerang mengungkapkan bagaimana kebijakan yang tidak tepat dapat membuka peluang bagi praktik yang merugikan masyarakat dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Untuk itu, selain upaya penegakan hukum yang sedang berjalan, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan merevisi kebijakan yang ada, agar pembangunan yang dilakukan benar-benar memberikan manfaat yang lebih luas bagi seluruh rakyat Indonesia.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #