Keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dalam Pemilu 2024 telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Sejak awal, perdebatan muncul terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi pencalonannya. Kini, setelah resmi terpilih sebagai wakil presiden, evaluasi terhadap kinerja dan etika politiknya menjadi hal yang wajar dilakukan.
Kualitas Kepemimpinan yang Dipertanyakan
Sebagai figur muda di pemerintahan, Gibran diharapkan membawa gagasan segar. Namun, kemampuannya dalam memimpin rapat kabinet sempat menuai kritik, terutama ketika ia tampak masih bergantung pada teks dalam penyampaian arahan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ia telah siap secara kapasitas untuk memegang jabatan tinggi di pemerintahan.
Selain itu, pernyataan kontroversial yang pernah diucapkannya, seperti keliru menyebut asam folat sebagai asam sulfat dalam konteks nutrisi ibu hamil, juga menambah sorotan terhadap kesiapannya. Kesalahan ini menuai reaksi dari berbagai kalangan, termasuk tenaga medis yang menilai pentingnya ketelitian dalam menyampaikan informasi kesehatan.
Kontroversi Akun Fufufafa
Salah satu isu yang mencuat adalah dugaan keterkaitan Gibran dengan akun media sosial "fufufafa," yang berisi unggahan kontroversial. Beberapa pihak menilai bahwa akun tersebut menyebarkan narasi yang dapat dianggap sebagai ujaran kebencian dan berpotensi melanggar Undang-Undang ITE. Meski demikian, hingga saat ini belum ada klarifikasi resmi dari Gibran terkait isu tersebut.
Aspek Hukum dan Nepotisme
Proses pencalonan Gibran sebagai cawapres tidak lepas dari kontroversi hukum dan etika politik. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan pencalonannya menuai kritik karena dugaan konflik kepentingan yang melibatkan Ketua MK, yang merupakan pamannya sendiri. Selain itu, KPU juga sempat mendapat teguran dari DKPP terkait proses administrasi yang dinilai tidak sesuai prosedur.
Dalam perspektif hukum, banyak pihak mengacu pada Pasal 7A UUD 1945 yang memungkinkan pemakzulan pejabat negara jika terbukti melanggar hukum atau melakukan perbuatan tercela. Namun, proses ini membutuhkan mekanisme konstitusional yang ketat dan tidak bisa didasarkan pada opini semata.
Menatap Masa Depan
Sebagai wakil presiden, Gibran memiliki tanggung jawab besar dalam pemerintahan mendatang. Kritik yang muncul seharusnya menjadi evaluasi bagi dirinya dan timnya untuk meningkatkan kinerja dan membangun kepercayaan publik. Sementara itu, masyarakat perlu terus mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berjalan sesuai prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang serius, bukan sekadar permainan politik. Apakah Gibran akan mampu membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang layak? Waktu akan menjadi jawabannya.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 29 Januari 2025
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #