Opini
Oleh Ariady Achmad pada hari Kamis, 30 Jan 2025 - 11:06:50 WIB
Bagikan Berita ini :

Konflik Agraria di Desa Kohod: Jejak Sejarah dari Bandar Betsy ke Tangerang

tscom_news_photo_1738210010.jpeg
(Sumber foto : )

Tangerang, Januari 2025 – Isu agraria kembali mencuat di Indonesia. Kali ini, perhatian publik tertuju pada Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, yang menjadi pusat polemik terkait pemasangan pagar laut. Peristiwa ini mengingatkan pada insiden berdarah yang terjadi di Bandar Betsy, Sumatra Utara, pada 1951. Meski terjadi dalam konteks yang berbeda, keduanya mencerminkan ketegangan klasik antara masyarakat, pemerintah, dan kepentingan ekonomi.

Konflik di Desa Kohod: Sengketa Pagar Laut dan Hak Kepemilikan

Persoalan bermula ketika sejumlah pihak memasang pagar di wilayah laut Desa Kohod. Pemasangan ini menuai protes karena dinilai menghalangi akses nelayan serta berpotensi melanggar hukum. Kepala Desa Kohod, Arsin bin Sanip, diduga memiliki keterlibatan langsung dalam proyek ini.

Pemerintah pusat segera turun tangan. Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, memerintahkan penyelidikan terhadap proyek tersebut. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, bahkan membatalkan sekitar 50 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dinilai bermasalah karena lahan tersebut sudah berubah menjadi perairan akibat abrasi.

Jejak Sejarah: Dari Bandar Betsy ke Desa Kohod

Meskipun berbeda secara geografis dan waktu, konflik agraria di Desa Kohod memiliki kemiripan dengan Peristiwa Bandar Betsy pada 1951. Kala itu, sekelompok petani di Sumatra Utara berupaya menguasai lahan perkebunan karet yang sebelumnya dikuasai perusahaan Belanda. Namun, pemerintah Indonesia yang baru merdeka berupaya mempertahankan aset perkebunan sebagai sumber pendapatan negara. Bentrokan antara petani dan aparat berujung pada korban jiwa, menjadikannya salah satu insiden agraria paling berdarah dalam sejarah Indonesia.

Baik Peristiwa Bandar Betsy maupun kasus Desa Kohod mencerminkan pertarungan kepentingan antara masyarakat yang merasa memiliki hak atas tanah atau akses ke sumber daya alam dengan pemerintah yang sering kali memiliki kebijakan berbeda.

Persamaan dan Perbedaan: Studi Kasus Konflik Agraria

Persamaan:

1. Sengketa Lahan dan Sumber Daya – Kedua peristiwa berkaitan dengan kepemilikan dan akses terhadap tanah atau laut yang dianggap sebagai bagian dari hak masyarakat setempat.


2. Keterlibatan Aparat Pemerintah – Baik di Bandar Betsy maupun Desa Kohod, pemerintah pusat dan aparat turun tangan untuk menangani konflik, dengan respons yang bervariasi.


3. Dampak Sosial dan Ekonomi – Sengketa ini mempengaruhi kehidupan masyarakat lokal, baik petani di Sumatra Utara maupun nelayan di Tangerang, yang bergantung pada sumber daya tersebut untuk bertahan hidup.

Perbedaan:

1. Konteks Sejarah dan Politik – Peristiwa Bandar Betsy terjadi dalam situasi pasca-kemerdekaan, saat Indonesia masih mencari bentuk dalam kebijakan agraria. Sementara itu, konflik di Desa Kohod terjadi di era modern, dengan hukum agraria yang lebih tertata tetapi tetap menghadapi celah dalam implementasi.


2. Aktor yang Terlibat – Bandar Betsy melibatkan petani yang berhadapan dengan pemerintah pusat, sedangkan Desa Kohod lebih berpusat pada peran kepala desa dan kemungkinan pihak swasta dalam proyek pemasangan pagar laut.


3. Dampak Lingkungan – Di Desa Kohod, konflik berkaitan dengan abrasi dan perubahan lanskap pesisir, berbeda dengan Bandar Betsy yang berfokus pada hak kepemilikan atas tanah pertanian.

Solusi dan Harapan: Menata Ulang Kebijakan Agraria

Konflik seperti yang terjadi di Desa Kohod dan Bandar Betsy menunjukkan perlunya kebijakan agraria yang lebih berpihak pada masyarakat tanpa mengabaikan kepentingan pembangunan nasional. Transparansi dalam penerbitan sertifikat tanah, perlindungan terhadap hak masyarakat adat dan lokal, serta pendekatan berbasis dialog menjadi kunci untuk mencegah konflik serupa di masa depan.

Pemerintah diharapkan tidak hanya bertindak reaktif saat konflik mencuat, tetapi juga proaktif dalam memastikan kebijakan agraria yang adil dan berkelanjutan. Sejarah telah menunjukkan bahwa persoalan tanah bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keadilan sosial yang harus diperjuangkan demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

(Ariady Achmad, Jurnalis dan PengamatIsuAgraria)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Pragmatisme Politik di Indonesia: Adaptasi atau Oportunisme?

Oleh Ariady Achmad
pada hari Jumat, 31 Jan 2025
Dalam lanskap politik Indonesia, perpindahan tokoh dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya bukanlah hal baru. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah perjalanan politik Budi Arie ...
Opini

TNI-Polri, Pilar Negara yang Harus Profesional dan Netral

Dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri kamis 30 Januari 2025 di Jakarya, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa salah satu ciri negara gagal adalah tidak efektifnya kerja TNI dan Polri. Ia juga ...